Judul Buku : Merdeka dari Kekerasan
Penulis : Rita Primayuni, dkk.
Penerbit : Alinea Media Pustaka,
Tahun Terbit : Maret 2022
ISBN : 978-6236399-65-1
Akhir bulan 2021, saya menjadi juri dari lomba menulis yang diadakan oleh Yayasan Jari. Lomba tersebut bisa diikuti oleh semua kalangan yang bertema “Merdeka dari Kekerasan.” Diantara hampir seribu tulisan yang masuk, terpilihlah 53 tulisan ini, kemudian Yayasan Jari menerbitkan buku ini. Buku ini menceritakan tentang luka yang dialami oleh perempuan dan anak. Ya, kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak menjadi luka yang dalam dan sangat panjang untuk disembuhkan.
Diantara 53 penulis terpilih, status saksi sebanyak 45 %, penyintas 42%, 11 % penulis yang menjadi penyintas dan saksi, termasuk 2 orang saksi ahli (seorang dokter ahli bidang ilmu kedokteran kehakiman dan seorang ahli hukum) dan 2 % penulis yang menjadi pelaku kekerasan.
Buku ini merupakan sehimpun kisah dan perjuangan para penulis yang berupaya untuk keluar dari lingkungan toxic. Banyak sekali cerita di dalamnya termasuk, kekerasan yang dilakukan oleh suami, orang tua, bahkan pacar. Kisah yang berasal dari pengalaman masa kecil juga turut menjadi bagian cerita yang mengharukan dalam tulisan ini.
Salah satu kisah yang ditulis oleh Rita Primayuni (Hal.1) yang merupakan tulisan terbaik dalam dalam perlombaan tersebut menceritakan tentang kisah pahitnya di masa kecil tentang pelecehan yang dialami olehnya. Orang tua yang tampil dalam kisah itu, justru menyepelekan kasusnya, bahkan menganggapnya bercanda. Padahal, kalau kita telaah, sebagai pembaca, kasus tersebut sudah terjadi beberapa tahun silam, bahkan lebih dari 10 tahun. Namun ingatan dan trauma yang dialami sebagai korban, tetap membekas.
Melalui salah satu cerita itu, barangkali kita perlu refleksi untuk masa depan ketika menjadi orang tua. Kepekaan, empati dan rasa tanggung jawab terhadap kenyamanan seorang anak sangat penting diberikan oleh orang tua. Cerita tersebut belum seberapa jika dibandingkan dengan cerita yang ditulis oleh Rj. Pada tulisan itu, RJ menceritakan kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh keluarganya. Sang ayah, sebagai pelaku dari kekerasan tersebut justru dinormalisir oleh ibunya. Sikap yang ditampilkan seolah-olah tidak ada masalah. Padahal, hal itu berpengaruh terhadap Kesehatan mental dirinya, hingga relasi yang terjalin dengan anak-anaknya.
Apa yang diceritakan Rj dalam tulisan itu, sebagai pembaca, kita juga tidak bisa membayangkan, bagaimana jika kita menjadi seorang anak dari ayah yang tempremen, suka memukul, hingga melakuka n kekerasan fisik secara terus menerus. Mampukah kita hidup dalam lingkaran setan itu? Lalu memilih untuk merasa baik-baik saja padahal nyatanya hancur? Kisah serupa juga terdapat dalam buku ini, namun memilih untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga lantaran faktor ekonomi.
Beberapa kasus lain justru diakibatkan oleh budaya patriarki yang mengakar, sehingga menganggap bahwa perilaku memukul perempuan adalah sesuatu yang wajar dilakukan. Pada cerita-cerita semacam inilah pembaca belajar, pentingnya komunikasi terbuka dalam melihat masalah. Masyarakat kebanyakan menormalisir perbuatan tidak baik hanya karena hal tersebut dianggap biasa, khsusunya kasus kekerasan seksual. Padahal, bagi korban, dampak berkelanjutan terus akan diingat sepanjang hidup.
Dua cerita di atas hanyalah bagian dari kisah-kisah yang menyayat hati. Mereka menulisnya banyak yang berasal dari pengalaman pribadi. Makanya, beberapa penulis justru tidak mencantumkan nama asli atau menggunakan nama samara. Banyak sekali kekerasan yang terjadi di sekitar kita. Terkadang kita sendiri pernah merasakan menjadi korban kekerasan itu sendiri. entah dilakukan oleh pasangan, keluarga bahkan ataupun orang terdekat lain.
Cerita-cerita tentang pengalaman menjadi korban kekerasan layak sekali untuk kita baca. Hal ini karena menambah pengetahuan kita agar lebih aware terhadap kasus kekerasan seksual. Membaca buku ini juga menjadi pedoman bagi kita ketika kekerasan seksual dialami oleh teman, ataupun orang terdekat. Sehingga sikap kita justru hadir untuk korban, bukan malah meninggalkan, atau mengucilkan.
Terkadang, alasan utama mengapa seseorang menyepelekan kekerasan seksual karena tidak pernah mengalami. Sehingga tidak memiliki empati terhadap kasus semacam itu. Buku ini, juga menjadi pemicu kepada pembaca agar kita semua empati melihat kasus kekerasan seksual di sekitar kita. Membaca buku juga berarti, mendukung para korban untuk sembuh dari trauma yang dialami akibat kekerasan seksual.