Pasca meninggalnya Nabi Muhammad SAW, umat Islam segera mencari pengganti beliau untuk mengisi kekosongan pemerintahan. Nabi Muhammad tidak memberikan wasiat siapa yang akan menjadi pengganti beliau. Maka berkumpulah kaum anshor dan muhajirin di sebuah balai pertemuan di Madinah bernama tsaqifah bani sa’idah.
Kaum Anshor merasa berhak menjadi pengganti kepemimpinan Nabi Muhammad SAW karena kaum anshor lah yang berbesar hati menerima Nabi Muhammad di Madinah. Mereka terdiri dari suku auz dan khazraj. Kaum anshor pula yang memberikan jaminan keamanan dan juga tempat tinggal bagi kaum muhajirin. Maka kaum anshor mencalonkan Sa’ad bin Ubadah untuk menjadi khalifah selanjutnya.
Sedangkan kaum muhajirin juga berasa berhak untuk menjadi pemimpin selanjutnya karena muhajirinlah yang selama ini mendampingi dakwah Nabi terutama ketika Nabi mendapatkan penolakan dari kafir Qurosiy di Makkah. Akibatnya, proses pemilihan pemimpin pasca nabi Muhammad berjalan cukup a lot.
Konflik internal Islam pertama dalam bidang politik
Peristiwa tsaqifah bani saidah ini terjadi saat jasad Nabi Muhammad SAW belum dikuburkan. Belum kering air mata Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidilah, Fatimah, Zubair bin Awwam meratapi kesedihan karena meninggalnya Nabi Muhammad. Dan di waktu yang sama, kaum anshar dna muhajirin sedang melakukan perundingan untuk mencari pengganti kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.
Maka disinilah konflik internal Islam pertama kali terjadi di bidang politik. Beberapa pihak menyayangkan keputusan Abu bakar dan Umar yang memilih untuk ikut berkontestasi pada acara suksesi kepemimpinan dibanding ikut memakamkan jenazah Nabi Muhammad.
Namun demikian, menurut Hafizh Syah Reza Pahlevi dalam jurnal Tarbawi menjelaskan bahwa keputusan Abu Bakar dan Umar tersebut bukan berarti tidak menghargai keluarga Nabi. Namun beliau justru ingin meredam konflik di balai tsaqifah bani saidah yang mungkin saja akan bertambah besar jika perwakilan muhajirin tidak ada di lokasi.
Karena di tubuh anshar saat itu juga terpecah antara suku Auz dan Khazraj. Saad bin Ubadah adalah kaum anshor dari kalangan suku Khazraj, hal ini tidak disetujui oleh kaum anshor dari suku Auz. Maka Abu Bakar, Umar dan Ubaidah bin Jarrah segera mendatangi balai tsaqifah bani saadah karena khawatir kaum anshor membaiat pemimpin secara aklamasi.
Setibanya di balai tsaqifah bani sa’idah, Abu Bakar menyampaikan orasinya tentang siapa yang paling berhak menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Alih-alih mengajukan dirinya, Abu Bakar justru menunjuk Umar dan Ubaidah bin Jarrah sebagai kandidat yang paling kompeten untuk menjadi khalifah selanjutnya.
Baik kaum anshar maupun muhajirin justru terkesima dengan sikap rendah diri Abu Bakar. Meskipun ia adalah kandidat yang paling kompeten untuk meneruskan kepemimpinan Nabi, namun Abu Bakar tidak menunjuk dirinya sendiri. Setelah proses dialog yang panjang, kaum muhajirin dan anshar justru melakukan baiat terhadap Abu Bakar.
Nilai perdamaian yang diterapkan pada peristiwa tsaqifah bani sa’idah.
Konflik politik yang terjadi di tsaqifah bani saidah berakhir dengan perdamaian. Kedua kubu baik anshar maupun muhajirin sepakat untuk menunjuk Abu Bakar sebagai pengganti kepemimpinan politik Nabi Muhammad SAW. Bukan hal yang mudah tentunya untuk mengakhiri konflik tersebut dengan perdamaian. Namun mereka telah menunjukkan komitmennya untuk berpegang teguh pada nilai-nilai perdamaian. Adapun nilai perdamaian yang diterapkan dalam peristiwa tsaqifah bani saidah anara lain;
Nilai solidaritas; meskipun berasal dari suku yang berbeda, namun kaum muhajirin dan anshar pada akhirnya menurunkan ego masing-masing untuk tidak mengunggulkan nasabnya. Hal itu mereka lakukan demi menjaga solidaritas umat muslim sebagaimana telah diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW.
Nilai toleransi; meskipun pada akhirnya kelompok muhajirin yang dijadikan khalifah, namun kaum anshar menghargai keputusan yang telah ditetapkan forum. Padahal sebelumnya, kaum anshar juga telah memiliki kandidat. Sikap saling menghargai ditunjukkan dengan kesediaan kaum anshar membaiat Abu Bakar dan tidak melakukan perlawanan internal.
Nilai musyawarah; dalam keadaan yang diliputi emosi, baik anshar maupun muhajirin tetap mengedepankan nilai musyawarah untuk menyelesaikan perselisihan antar mereka. Alih-alih menggunakan kekerasan, mereka lebih memilih jalan diskusi dan musyawarah hingga pada akhirnya sampailah pada keputusan yang bisa diterima oleh seluruh peserta.
Demikianlah penjelasan mengenai nilai-nilai perdamaian yang berhasil diterapkan pada peristiwa di balai tsaqifah bani sa’adah. Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa yang terpenting dalam menghadapi sebuah konflik adalah tetap mengedepankan kemaslahatan dan kebaikan bersama diatas kepentingan golongan. bukan hal mudah tentunya, namun mengedepankan ego semata hanya akan memunculkan konflik berkepanjangan.