Thursday, November 21, 2024
spot_img
HomeFigurMenguatkan Diri dan Korban Terorisme Yang Terstigma

Menguatkan Diri dan Korban Terorisme Yang Terstigma

“…masyarakat yang menomorduakan perempuan dapat menjerumuskan mereka ke dalam kemalangan seperti jaringan terorisme.”

– Mega Priyanti –

Saya lahir dari keluarga yang kental dengan patriarki. Akibatnya saya tumbuh menjadi anak perempuan pendiam serta tidak berani berpendapat. Bahkan saat mengalami beberapa kali pelecehan seksual saya tidak berani bercerita kepada siapa pun. Menyalahkan diri sendiri dan menganggap bahwa tubuh ini kotor karena mengundang nafsu laki-laki adalah dampaknya. 

Tumbuh dalam keluarga yang mengagungkan kekuasaan laki-laki juga merugikan relasi sosial saya. Suatu saat ketika masih kuliah, ayah mengetahui saya dekat dengan seorang teman laki-laki Nasrani. Ayah sangat marah dan segera menikahkan saya dengan teman laki-laki lain yang saat itu dekat dengan keluarga kami. Setelah menikah, saya merasa ada yang salah dalam konsep berkeluarga kami. 

Hingga akhirnya wawasan saya terbuka secara tidak sengaja setelah bergabung dengan kelompok Suara Ibu Peduli (SIP) di tahun 1998. Sebenarnya saya datang ke SIP karena saya membutuhkan susu formula untuk anak-anak saya. Di saat harga susu melambung tinggi, SIP menjual susu dengan harga murah. Setiap berkunjung, saya selalu bertemu dengan perempuan-perempuan lain yang bernasib sama. Kami lalu sering berbagi cerita tentang kondisi masing-masing. 

Di SIP pula saya bertemu dengan Gadis Arivia, Karlina Leksono, Myra Diarsi, dan Ciciek Farha yang merupakan para aktivis perempuan. Semakin lama saya beraktivitas di SIP, semakin terlihat bahwa perempuan adalah warga kelas dua yang mengalami kekerasan, pelecehan, beban ganda, dan berbagai masalah baik di keluarga maupun di lingkungannya. Saya percaya Tuhan menciptakan perempuan setara laki-laki yang sama-sama harus dihormati. Namun perempuan-perempuan terdekat saya saat itu selalu didiskriminasi dan dilumpuhkan lingkungan patriarkis. 

Keinginan membawa perubahan memotivasi saya untuk terus belajar. Hal pertama yang saya lakukan adalah menghargai diri sendiri dengan cara sangat sederhana; saya tidak lagi mau dipanggil dengan nama suami. Dengan lantang saya sebut nama saya: Mega!

Selain itu, memilih bekerja sebagai pendamping korban kekerasan berbasis gender adalah bagian penguatan diri sendiri. Bertemu banyak orang, terutama perempuan senasib, semakin memacu saya untuk bersama-sama keluar dari persoalan yang dihadapi. Sebagai contoh, di sekitar saya terdapat banyak persoalan seperti pemerintah daerah (kelurahan) yang tidak peka, lingkungan kumuh dan tidak ramah anak, kasus KDRT, pelecehan seksual, dan pernikahan anak. 

Sayangnya dalam menghadapi berbagai permasalahan tersebut, para pendamping perempuan ditolak karena dianggap feminis liberal yang membuat perempuan menjadi pemberontak. Hal ini diperburuk dengan wawasan pihak berkepentingan (stakeholder) yang minim dan menganggap bahwa program pendidikan untuk masyarakat mengada-ada dan masalah kecil sengaja dibesar-besarkan. Maka sangat penting meningkatkan daya tangguh dan daya tangkal masyarakat melalui pendidikan, diskusi, dan sosialisasi rutin mengenai isu yang berkembang. Sehingga kepekaan masyarakat dapat terasah untuk menguatkan ikatan sosial terutama dalam memberdayakan kelompok rentan seperti perempuan.

(bersambung)

*

Kisah Mega selengkapnya beserta perempuan perdamaian lainnya didokumentasikan oleh AMAN Indonesia bersama She Builds Peace Indonesia dalam buku She Builds Peace Seri 1: Kisah-Kisah Perempuan Penyelamat Nusantara.

Banyak pembelajaran tentang agensi perempuan yang bisa ditemukan dengan membaca semua cerita di buku ini. Untuk mendapatkannya, bisa dipesan melalui link berikut bit.ly/pesanbukuSBPseri1.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments