Friday, December 6, 2024
spot_img
HomeOpiniWiwik Hikmawati Wulandari: Keterwakilan Suara Perempuan di Tingkat Desa dan Dinamika Tantangannya

Wiwik Hikmawati Wulandari: Keterwakilan Suara Perempuan di Tingkat Desa dan Dinamika Tantangannya

Disahkannya Undang-Undang No.4 Tahun 2016 Tentang Desa membawa semangat baru dalam proses demokratisasi di tingkat Desa. Hal ini dikarenakan UU tersebut membuka partisipasi dan keterlibatan semua elemen warga termasuk perempuan dalam setiap pengambilan keputusan. Perlu diketahui bahwa dalam UU Desa pasal 1 ayat 4 menyatakan bahwa desa dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan juga Badan Permusyawaratan Desa (BPD). 

Pemerintah Desa sendiri terdiri dari Kepala Desa yang dibantu oleh perangkat desa dalam penyelenggaraan pemerintah desa, sementara BPD merupakan Lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintah yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa yang dipilih secara demokratis. BPD selanjutnya bertugas untuk membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, serta melakukan pengawasan kinerja pemerintah desa.

Adalah Wiwik Hikmawati Wulandari, seorang perempuan yang aktif memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak di desa melalui perannya sebagai anggota BPD di desa Pengkok, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dia terpilih menjadi anggota BPD sebagai perwakilan wilayah dan menjadi salah satu dari tiga perempuan yang terpilih.

Mbak Wiwik begitu sapaan akrabnya, menyampaikan bahwa penting sekali untuk mendengarkan suara perempuan dan juga suara anak dalam setiap pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan di desa. Dalam talkshow She builds Peace yang ditayangkan di youtube pada 23 September 2022 lebih lanjut dia mengatakan bahwa agenda yang saat ini sedang dikerjakannya adalah terkait pengadaan forum anak di desa Pengkok yang menjadi wilayahnya. 

Menurutnya, forum anak berfungsi untuk memberikan wadah kepada mereka untuk melakukan hal-hal yang lebih positif. Meraka bisa saling curhat atau berbagi pengalaman dan pengetahuan, mendengarkan aspirasi anak dan apa yang mereka inginkan sehingga bisa merumuskan kegiatan yang sesuai dengan anak-anak. Selain itu juga bisa mengalihkan energi negatif pada kreativitas yang lebih positif.

Gagasan ini mendapat respons yang positif di BPD, Namun masih terhalang dan mampet di Pemerintahan Desa sampai saat ini. Hal itu yang menjadi tantangan bagi mbk Wiwik dan teman-teman perempuan di BPD untuk melakukan lobi-lobi agar agenda tersebut bisa terlaksana.

Tantangan serupa juga pernah dialami mbak Wiwik ketika menangani penanggulangan stunting di desa. Menurutnya, ketika itu dana yang dialokasikan sangat minim sekali sehingga dia mengusulkan untuk menambah anggaran tersebut. Namun ketika usulan tersebut disampaikan di musyawarah bersama pemerintah desa, respons yang diterima kurang baik. Banyak yang mengatakan bahwa menambah anggaran bukanlah hal yang penting-penting amat melihat di Desa pengkok sendiri dinilai tidak ada anak yang mengalami stunting.

Akhirnya strategi komunikasi interpersonal pun dilakukan dengan mengajak berbicara orang-orang strategis di desa. Argumen bahwa kita tidak boleh hanya berfokus pada penanggulagan, tetapi juga pencegahan stunting, komparasi dengan desa lain yang sudah lebih dahulu sukses mendapatkan manfaat dari setiap usulan perempuan pun disampaikan. Komunikasi dari hati ke hati dengan pembicaraan yang santai sembari disisipi guyon atau bercanda nyatanya ampuh meluluhkan dan meyakinkan pemerintah desa hingga akhirnya usualan untuk penambahan anggaran stunting diterima dan dilaksanakan.

Dari cerita mbk Wiwik tersebut dapat kita pahami bahwa mempengaruhi sebuah sistem yang masih didominasi laki-laki bukanlah hal yang mudah. Tantangan kepemimpinan perempuan terutama terkait keterbatasan informasi tentang isu kritis perempuan, rendahnya perspektif gender dan pandangan keagamaan yang konservatif.

Menghadapi tantangan tersebut perempuan dituntut untuk berani mengungkapkan dan menyuarakan pandangan mereka karena faktanya memang perempuanlah yang lebih aware terhadap masalah-masalah di sekitar mereka. Dalam Bahasanya mbak Wiwik “Perempuan itu mikirnya gak cuma satu tapi banyak”. Perempuan tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Potensi empati yang dimiliki perempuan membuatnya lebih peka dan peduli terhadap lingkungan di sekitarnya.

Selain perempuan, pemuda dan anak-anak juga penting untuk didengarkan kebutuhannya. Kebutuhan tersebut tidak bisa hanya dikira-kira atau dibayangkan saja, tetapi harus otentik berdasarkan pengalaman unik mereka agar proses analisis terkait kebijakan yang akan diterapkan itu berbasis pada suara mereka.

Dalam konteks ini, peran perempuan dalam BPD seperti yang dilakukan oleh mbk Wiwik diharapkan bisa menghadirkan keragaman suara perempuan dari berbagai kelompok tersebut dan mengadopsinya sebagai landasan kebijakan. Selain itu yang lebih penting adalah menjalankan dan mengeksekusi kebijakan yang mendorong perubahan tersebut.

Keterlibatan perempuan tersebut sebenarnya sudah diatur dan tertuang secara eksplisit dalam UU No.14 tahun 2016 tentang Desa pasal 58 ayat 1 dan diperjelas dalam Permendagri Nomor 110 tahun 2016 tentang BPD. Dengan demikian sebenarnya Negara telah memberikan ruang bagi perempuan untuk terlibat langsung dan memaksimalkan perannya dalam memberikan masukan dan aspirasi kepada pemerintah desa melalui BPD.

Namun, menurut mbak Wiwik masih banyak perempuan yang belum berani untuk menyuarakan pendapat. Tentu ini tidak lepas dari latar belakang sistem budaya patriarki yang mana laki-laki masih mendominasi. Karena itu perlu untuk meyakinkan ruang aman bagi perempuan agar berani berpendapat. 

Selain perubahan eksternal yang bersifat struktural, juga diperlukan perubahan dalam diri perempuan sendiri untuk terus belajar dan menggali potensi diri sehingga memiliki posisi tawar yang kuat dan berani menyuarakan pendapat.Partisipasi perempuan tidak cukup hanya sekedar hadir atau pemberi informasi tanpa bisa mempengaruhi kebijakan itu sendiri. 

Representasi perempuan diperlukan di semua badan penentu kebijakan publik termasuk BPD agar pengetahuan dan pengalamannya dapat dipakai menjadi landasan dan perumusan kebijakan. Karena itu, perlu adanya penguatan dan dukungan maksimal dari konstituen Perempuan di desa yang tergabung dalam organisasi seperti majelis taklim, PKK ataupun perkumpulan yang lainnya, agar agenda-agenda perempuan dapat dilaksanakan.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments