Saturday, August 23, 2025

80 Tahun Kemerdekaan Indonesia: Sudahkah Guru Honorer Sejahtera? Kisah Ibu Sahari di Pedalaman Sulawesi Selatan

“Saya selalu berdoa kepada Tuhan, mudah-mudahan ada hikmahnya ini perjuangan. Saya selalu bertahan karena saya merasa tidak bisa meninggalkan anak-anak. Tuhan yang akan balas, mudah-mudahan kalau saya tidak dapat di dunia, saya dapat balasan dari Tuhan di akhirat,” Ucap Ibu Sahari, guru honorer di pedalaman Sulawesi Selatan.

Guru honorer, terutama di pelosok, seringkali hidup di antara dua kenyataan; antara semangat mendidik generasi dan kegelisahan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Gaji yang mereka terima kadang bahkan tak cukup untuk ongkos transportasi menuju sekolah, apalagi menyisihkannya untuk tabungan. Mereka hanya bermodal keyakinan bahwa ilmu pengetahuan adalah cahaya yang harus terus dinyalakan.

Ibu Sahari, seorang guru honorer di SDN 60 Bung, Sulawesi Selatan. Ia, setiap hari harus menempuh jarak mencapai 40 kilometer pulang-pergi. Jalanan berliku, perbukitan terjal, dan turunan curam sudah menjadi teman setianya. Saat musim hujan, licinnya tanah dan genangan air menambah risiko perjalanan. Namun, langkahnya tak pernah surut untuk memajukan pendidikan di desa tersebut.

Sebagai guru honorer dengan gaji Rp100 ribu per bulan, tentu upahnya tidaklah cukup untuk menafkahi keluarganya. Guna menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, Ibu Sahari juga bekerja sebagai petani bersama suaminya. Sepetak lahan sawah dan kebun milik saudara Ibu Sahari ditanami tumbuhan palawija seperti padi dan ubi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kita sering mendengar, “Menjadi guru itu ladang pahala.” memang benar. Akan tetapi, dibalik iming-iming pahala ada kenyataan pahit, pahala itu kerap dijadikan pengganti dari hak untuk sejahtera. Guru, terutama mereka yang berada di pelosok, berdiri tegak di garis depan pendidikan dengan gaji yang bahkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.

 

Realita Kesejahteraan Tenaga Pendidik di Indonesia

Cerita Bu Sahari bukan kisah tunggal, hal ini relevan dengan wacana nasional soal gaji guru. Baru-baru ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan kegelisahannya, gaji guru dan dosen masih dianggap kecil, dan ini mencerminkan betapa rendahnya penghargaan terhadap profesi pendidik. Ia lalu menantang publik, apakah beban ini harus sepenuhnya ditanggung negara ataukah masyarakat turut berpartisipasi?

Sri Mulyani menyadari bahwa APBN memiliki keterbatasan. Tahun 2025, pemerintah mengalokasikan sebesar Rp 724,3 triliun atau 20% dari anggaran negara untuk pendidikan yang mencakup program seperti BOS, PIP, KIP-kuliah, beasiswa, tunjangan guru, hingga rehab sekolah dan digitalisasi pembelajaran. 

Namun, di pedalaman seperti kampung Ibu Sahari, angka-angka itu terasa jauh, karena distribusinya belum menyentuh mereka yang paling membutuhkan. Di sinilah peran perempuan seperti Ibu Sahari menjadi penopang nyata bahwa tanpa kebijakan yang sempurna, mereka ada sebagai ujung tombak penyelamat akses pendidikan.

 

Perempuan sebagai Pionir Pendidikan 

Kisah Bu Sahari adalah representasi dari begitu banyak perempuan di pelosok negeri yang menjadi pilar pendidikan. Mereka memastikan anak-anak tidak kehilangan haknya untuk belajar, bahkan ketika pemerintah belum mampu memberikan dukungan yang memadai. 

Mereka adalah garda terdepan yang melindungi generasi muda dari risiko kehilangan harapan. Tanpa mereka, cita-cita pendidikan merata hanyalah jargon di atas kertas. Perempuan seperti Ibu Sahari bekerja dalam sunyi, tapi dampaknya bergema jauh ke masa depan.

Meski honornya tak seberapa, Ibu Sahari tidak pernah merasa perjuangannya sia-sia. Ia percaya bahwa setiap baktinya akan diganti oleh Tuhan dengan balasan terbaik, meski mungkin bukan di dunia. Ia paham bahwa keberadaannya bukan hanya mengajarkan mata pelajaran, tetapi juga memberi rasa aman. Anak-anak merasa ada yang peduli pada mereka, dan ada yang percaya pada masa depannya.

 

Perempuan Penggerak Pendidikan, Sudahkah Perannya Direkognisi?

Kisah Ibu Sahari mengajarkan kita bahwa penghormatan kepada guru, terutama perempuan di daerah terpencil, tidak cukup dengan memberikan pujian di media sosial atau menyebut mereka sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. 

Mari kita jujur, sesemangat apapun seseorang mengajar, rasa lelah tetap akan datang ketika beban hidupnya terlalu berat. Bagaimana seorang guru bisa sepenuhnya fokus mempersiapkan pelajaran terbaik, jika di saat yang sama ia harus memikirkan bagaimana membayar biaya listrik atau membeli kebutuhan pokok untuk keluarganya?

Kita sering menganggap dedikasi itu murni panggilan hati, seakan-akan kesejahteraan mereka tidak ada hubungannya dengan kualitas pendidikan. Padahal, guru yang sejahtera akan datang ke kelas dengan energi penuh, dengan kepala yang ringan dari kekhawatiran, pikiran dan hati mereka bisa sepenuhnya tercurah pada murid-muridnya. 

Sebaliknya, guru yang hidup di bawah bayang-bayang beban finansial terpaksa membagi fokusnya antara mengajar dan mencari cara bertahan hidup. Murid mungkin tak selalu menyadari, tapi kualitas pengajaran pelan-pelan bisa terkikis ketika pengajarnya tak mendapatkan dukungan yang layak.

Kalau kita sungguh menghormati mereka, kita harus ikut memastikan untuk membantu menyediakan fasilitas, mendorong kebijakan yang adil, atau sesederhana hadir untuk mendengar apa yang mereka butuhkan. Karena tanpa itu semua, penghormatan kita hanya sekedar kata-kata manis yang tidak pernah mengubah apa-apa.

Menghormati mereka berarti mendengarkan cerita mereka, mengakui bahwa tantangan yang mereka hadapi itu nyata, dan ikut menjaga spirit yang sedang mereka bangun, yakni mempersiapkan generasi masa depan yang berpendidikan, berkarakter, dan siap memajukan bangsanya.

Jika kita sungguh menghormati jasa para guru ini, terlebih perempuan-perempuan yang menjadi garda terdepan di pelosok daerah, maka penting memastikan mereka tidak hanya diberi pahala di akhirat, tapi juga diberi kehidupan yang layak di dunia. Karena masa depan anak-anak kita bertumpu pada tangan mereka. 

Kita sering berkata bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang bangsa. Maka logikanya sederhana, investasikan juga pada para guru. Karena ketika guru hidup layak, mereka tak hanya mengajar dengan pengetahuan, tetapi juga dengan ketulusan yang utuh untuk membangun generasi masa depan dengan sepenuh hati.

Putri Jannatur Rahmah
Putri Jannatur Rahmah
Putri Jannah adalah content creator yang memiliki ketertarikan untuk menyuarakan isu gender melalui pendekatan ilmiah dan kreatif. Saat ini, ia menempuh studi magister dengan fokus pada perempuan dalam masyarakat Muslim. Melalui karyanya, ia berupaya menjembatani dunia akademik dan publik untuk mendorong keadilan gender.

Terpopuler
Artikel

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here