Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits (Mahasina Daqwah) didirikan oleh Drs. KH. Abu Bakar Rahziz, M.A., dan Dra. Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc., M.A. pada tahun 2016. Pesantren dengan ratusan santri ini terletak di Bekasi Pondok Gede Jawa Barat. Konsep pendidikan didalamnya ditujukan untuk mengkader santri menjadi calon-calon ulama di masa depan.
Maka konsep pendidikannya adalah pendidikan terintegrasi kader ulama, pemimpin berakhlak Qurani dan berwawasan kebangsaan. Untuk merealisasikan konsep tersebut, pembelajaran santri baik di pondok, Mts, dan MA adalah satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan antar satu dengan yang lainnya.
Nyai Badriyah Fayumi: Mufassir yang Aktif Menyuarakan Kesetaraan
Pengalaman sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, mengenalkan Nyai Badriyah Fayumi dengan ruang-ruang kekuasaan. Ruang tersebut beliau manfaatkan untuk menyampaikan narasi kesetaraan perempuan. Nyai Badriyah Fayumi menyampaikan pesan kesetaraan laki-laki dan perempuan di hadapan Allah dengan berbagai cara. Meskipun pada posisi dan jabatan yang berbeda, namun nilai kesetaraan di hadapan Allah adalah pesan utama yang beliau sampaikan di semua forum.
Kesadaran beliau akan pentingnya menyuarakan kesetaraan perempuan dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, beliau lahir dari orang tua yang demokratis namun lingkungan yang diskrminatif. Kedua orang tua memberikan kesempatan bagi Badriyah Fayumi remaja untuk sekolah. Namun sekolah bagi perempuan pada saat itu hanya dilakukan di sore hari. Pada pagi hari perempuan harus membantu urusan domestik ibunya.
Kedua, terinspirasi dengan tokoh-tokoh pejuang kesetaraan gender di tahun 1980 seperti Nusyahbani Katjasungkana yang keras menuntut hak dan posisi perempuan di bidang politik, sipil, media, akademik, dan otoritas keagamaan; Lies Marcos salah satu aktivis feminis yang menjadi penghubung antara gerakan perempuan sekuler dengan feminisme muslim Indonesia; Masdar Farid Mas’udi yang aktif memperjuangkan demokrasi dan hak perempuan.
Ketiga, pendidikan formil di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Al-Azhar Kairo Mesir pada jurusan Tafsir Hadist, Fakultas Ushuluddin mengenalkan Nyai Badriyah Fayumi dengan metodologi tafsir. Beliau meyakini bahwa tidak ada satupun nash yang menormalisasi perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Maka narasi ekstrimis yang mendiskriditkan peran perempuan harus di reinterpretasi menggunakan pendekatan kemanusiaan.
Proses Internalisasi Nilai Kesetaraan Gender di Pesantren Mahasina
Konsep pendidikan yang diterapkan di pesantren Mahasina adalah pendidikan terintegrasi kader ulama, pemimpin berakhlak Qurani dan berwawasan kebangsaan. Untuk merealisasikan konsep tersebut, maka para calon ulama harus dibekali dengan pemahaman kesetaraan gender. Ada dua pendekatan yang dilakukan Nyai Badriyah Fayumi untuk menginternalisasi nilai kesetaraan gender.
- Melalui kurikulum pendidikan
Untuk menghindari pendekatan dan interpretasi yang bias dan diamini oleh pihak yang diuntungkan, maka pendekatan historis dan kontekstual diterapkan dalam proses menafsirkan ayat. Nyai Badriyah Fayumi menjelaskan satu persatu konteks sosial yang melatarbelakani turunnya suatu ayat. Dalam ayat nusyuz misalnya, tradisi bangsa Arab adalah menormalisasi kekerasan terhadap perempuan.
Maka diaturlah konsep nusyuz bahwa pukulan yang diberikan pada perempuan adalah pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak meninggalkan bekas. Asumsinya, adakah pukulan yang tidak sakit dan tidak membekas? Jika ada maka itu bukan pukulan. Nilai yang disampaikan dalam an-Nisa ayat 34 justru melindungi perempuan dari tindakan kekerasan. Bukan justru melegitimasi kebolehan pemukulan terhadap perempuan.
Nyai Badriyah Fayumi juga menghapus kitab-kitab klasik yang tidak ramah gender sebagai rujukan santri. Pesantren Mahasina dalam mengajarkan relasi suami istri dalam rumah tangga merujuk pada kitab yang tidak menguatkan subordinasi, marginalisasi, beban ganda perempuan, dan penormalan kekerasan. Saat ini banyak kitab yang membahas tentang relasi pasutri yang lebih ramah perempuan, berkeadilan dan berkesetaraan gender. Seperti kitab kyai Faqihuddin Abdul Kodir Manba’us Sa’adah, Nabiyyur Rahmah, dan Sittin Adliyyah.Kitab tersebut yang dibaca oleh santri pesantren Mahasina.
- Melalui praktik keseharian santri
Dalam memimpin diskusi, tidak harus santri laki-laki yang menjadi ketua forum. Selain itu, santri putra maupun putri mendapatkan kesempatan yang sama untuk menyampaikan kultum ba’da shubuh dengan audience santri laki-laki dan perempuan. Begitupula dengan pemimpin dzikir, juga dilakukan santri laki-laki dan perempuan secara bergilir. Pun demikian dengan kepemimpinan dalam organsiasi, santri laki-laki dan perempuan juga diberi akses dan kesempatan yang sama untuk berkompetisi berdasarkan kompetensi. Orsam (Organisasi Santri Mahasina) baik putra maupun putri saling berkompetisi untuk membawa Orsam menjadi lebih baik.
Pesantren Mahasina tidak menerapkan pembatasan dan pemisahan ruang yang kaku antara laki-laki dan perempuan. Proses pendidikan, pembinaan, fasilitas, kurikulum, guru, kesempatan, akses dan partisipasi yang sama bagi santri laki-laki dan perempuan. Untuk menghindari hal hal yang tidak diinginkan (seperti pacarana), santri terus diingatkan oleh Kyai dan Bu Nyai. Bahwa masing-masing orang harus bisa menjaga diri, tidak boleh pacaran, selalu memohon kepada Allah agar dihindarkan dari akhlak, perilaku dan hawa nafsu yang buruk melalui doa dan dzikir rutin yg cukup panjang setiap bakda Maghrib dan Shubuh.
Dzikir tersebut dipimpin oleh Kyai, santri putra dan santri putri secara bergantian. Guru juga difungsikan sebagai pengganti orang tua yang memantau, membimbing dan menjadi tempat konsultasi hal hal yang bersifat akademik dan non akademik, termasuk menjadi tempat curhat. Demikianlah informasi mengenai bagaimana proses internaliasi nilai kesetaraan di pesantren Mahasina Bekasi. Semoga praktik baik sebagaimana diterapkan di pesantren Mahasina bisa mnjadi inspirasi bagi pesantren lain untuk menginternaliasi nilai serupa.