Friday, November 22, 2024
spot_img
HomeOpiniTari Saman, Meretas Budaya Patriarki untuk Berdakwah

Tari Saman, Meretas Budaya Patriarki untuk Berdakwah

Salah satu penampilan dalam International Conference yang dilaksanakan oleh AMAN Indonesia, bagian dari kegiatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II, pada 23 November 2022 di UIN Walisongo Semarang adalah penampilan tari Saman dari Aceh. Seperti yang kita ketahui bahwa, sikap yang ditampilkan oleh perempuan di Aceh, sangat berbeda dengan perempuan di daerah pada umumnya. Pernah suatu ketika saya bertemu dengan teman perempuan dari Aceh tentang, hukuman bagi seorang perempuan yang terlihat berdua dengan seorang laki-laki, hukuman yang diberikan kepada perempuan sangat berat dibandingkan dengan laki-laki.

Selain itu, dalam persoalan membonceng dengan sepeda motor misalnya. Perempuan harus bonceng dengan posisi duduk yang tidak boleh bersentuhan dengan laki-laki. Terkesan islami memang. Namun, haruskan pemerintah ataupun sosial melembagakan aturan yang sangat private sekali dan memberi hanya pada perempuan saja? Ketidakadilan inilah yang kerapkali ketika ada pemberontakan, perempuan dianggap sebagai radikal, atau anti Islam, hingga dikatakan sebagai orang yang tidak sesuai dengan anjuran Islam.

Di Aceh, semua Lembaga pemerintahan berdasarkan atas aturan Islam. Salah satunya persoalan jilbab dan tubuh perempuan yang paling menyita perhatian dari implementasi syariat Islam di Aceh.  Qanun syariat Islam di Aceh, memberikan porsi yang cukup besar untuk mengatur pakaian perempuan. hal ini terlihat dari aturan keharusan pakaian islami, hingga perilaku perempuan yang diatur oleh instansi pemerintahan yang ada di sekitar. Penerbitan busana yang dipakai oleh perempuan ini berdampak kepada kehidupan perempuan yang terkesan dikekang oleh segala aturan sosial. Perempuan harus berperilaku anggun sesuai syariat Islam.

Uniknya, upaya melembagakan ini berbanding terbalik dengan adanya Tari Saman yang diperagakan oleh perempuan. Tari Saman ini merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki oleh Aceh dan menjadi warisan dunia. Keberadaan Tari Saman ini adalah salah satu bentuk pujian kepada Allah Swt, yang diharmonisasikan dalam gerakan. Secara ritual keislaman, tarian ini cukup membawakan spiritualitas para penari dalam membawakan nilai-nilai Islam di dalamnya. Dalam sejarahnya, tarian ini bersama dari dataran tinggi Gayo, Aceh, dan dikembangkan oleh SYekh Mohammad as-Saman, seorang guru tasawwud kelahiran Madinah, pada abad ke-17 Masehi.

Tarian ini memiliki dua unsur gerakan yang menjadi gerakan, yakni tepuk tangan dan tepuk dada. Perbedaan dengan tarian yang lain terdapat pada gerakan tepuk tangan dan tepuk dada yang tidak ditemukan pada tarian lainnya. tidak hanya itu, pada posisi duduk para penari dan goyangan badan yang dihentakkan ke kiri atau ke kanan, ketika syair-syair dilagukan. Tarian ini tidak menggunakan alat musik. Sebab nyanyian dilantunkan oleh para penari  dan menciptakan suasana riang gembira.

Pujian yang dulantukan oleh para penari tidak lain adalah bentuk kecintaan kepada Allah Swt yang cukup kuat menggambarkan bahwa tarian ini adalah bentuk tarian tasawwuf. Setiap penampil dalam tari saman selalu menggunakan baju adat khas Aceh yang longgar, panjang, dan berwarna cerah seperti merah, kuning ataupun ungu. Mereka menggunakan lengkap dengan sarung dan ikat kepala, baik laki-laki ataupun perempuan.

Dalam International Conference yang dilaksanakan di UIN Walisongo Semarang, AMAN Indonesia dengan sengaja mengundang penampilan Tari Saman yang dibawakan oleh para perempuan, sebagai salah satu wujud bahwa, perempuan memiliki peran untuk mendobrak stigma budaya patriarki bahkan memiliki ruang yang sangat luas untuk berkarya. Kehadiran perempuan sebagai penampil Tari Saman tidak hanya sebagai ruang berkarya semata. Akan tetapi juga menjadi salah satu indikasi bahwa, perempuan mampu meretas budaya yang selama ini membelenggu perempuan.

Pada pelaksanaan International Conference, ruang untuk perempuan berkarya dan menunjukkan identitas perempuan sebagai manusia, menjadi salah satu hal yang diberikan oleh AMAN Indonesia. Keberadaan Tari Saman Aceh, pada kegiatan ini, juga menjadi salah satu upaya mengenalkan cara dakwah perempuan yang biasanya dikekang oleh dogma sehingga tidak memberi ruang bagi perempuan untuk tampil selayaknya manusia secara utuh. Tari Saman yang ditampilkan oleh perempuan menjadi ajang bagi perempuan mengenalkan perempuan sebagai makhluk yang utuh, sekaligus mengemban misi dakwah sesuai dengan tugas manusia yakni menjadi khalifah di bumi.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments