Sarah Chan kecil adalah anak perempuan yang suka bermain dan berlari bersama teman sebayanya. Sayangnya, mewujudkan kondisi tersebut tidak lah semudah telapak tangan. Ia dan keluarganya yang tinggal di daerah Khartoum, Sudan, dimana perang saudara tak henti-henti berkecamuk. Hingga sulit sekali mencicip setetes asa perdamaian. Tanah kelahirannya dipenuhi dengan emosi, tiap detik serasa hanya bisa menunggu mati.
Pindah ke Kenya untuk Kehidupan yang lebih Baik
Tak tahan dengan kondisi yang ada, ayah Sarah yang waktu itu tidak berhasil ditangkap oleh kelompok bersenjata akhirnya mengajak seluruh anggotanya untuk berpindah negara. Kenya, negara tetangga mereka pun menjadi pilihan tempat tinggal selanjutnya. Sesampainya di Kenya, Sarah mulai kembali mengeksplorasi diri. Sebab, di sana, ia tak perlu was-was akan ditembak lagi. Syukurlah, di sekolah barunya anak perempuan dibebaskan untuk berolahraga.
Berbeda dengan negeri asalnya yang membatasi kegiatan anak perempuan. Bahkan, anak perempuan mengenakan celana pendek saja dianggap tabu dan terlarang. Namun, hal berbeda ia temukan di Kenya. Ketika melihat postur Sarah dan saudara perempuannya, sang kepala sekolah langsung mendorongnya untuk berlatih basket. Bahkan ketika ia ragu dan sempat menolak, sang guru justru mewajibkan olahraga tersebut kepada semua siswa.
Motivasi dari sekolah tersebut mendorong Sarah untuk berlatih dengan sungguh-sungguh. Olahraga basket yang awalnya asing bagi Sarah, kini menjadi hal favorit yang ia lakoni tiap hari. Berkat latihan intensif, usai tamat sekolah menengah atas, perempuan asal Sudan ini kemudian dianugerahi beasiswa untuk kuliah dan menjadi bagian dari tim basket Union University di Jackson, Tennessee, Amerika Serikat.
Kemampuannya yang luar biasa dalam men-dribble bola bahkan membuatnya memiliki kesempatan berkarir tidak hanya di Amerika Serikat, tapi juga berbagai negara di Eropa dan Afrika. Bagi Sarah, basket bukan sekadar permainan olahraga. Basket adalah jalan terbaik yang mengubah hidupnya. Namun, bukan berarti tak ada pengalaman buruk selama ia bermain basket.
Sejumlah insiden negatif sempat menghantui Chan dalam beberapa pertandingan, termasuk ketika ia diludahi oleh laki-laki karena dianggap tak pantas bermain dan kurang cantik. Meski sempat membuatnya sakit hati, tapi perbuatan kasar itu tak lantas membuat Sarah menyerah dari basket. Justru ia dikuatkan oleh keluarganya untuk terus bermain dan menghiraukan kata-kata buruk dari orang tak dikenal. Ayah dan ibunya bahkan terus menyemangatinya, “You’re beautiful just the way you are.”
Atas motivasinya tiada henti dari orang-orang terdekat, ia terus menggeluti permainan ini hingga 14 tahun kemudian. Bahkan di sela-sela jeda pertandingan, ia juga menyempatkan diri untuk menengok kampung halamannya di Sudan Selatan tahun 2012 lalu. Yang menyesakkan, ketika ia kembali ke sana, ia justru menjadi saksi pengalaman pahit anak-anak perempuan yang tersandera oleh budaya patriarki. Banyak dari mereka mengadu padanya karena diperkosa, dipaksa menikah, hingga disuruh meninggalkan sekolah.
Memberdayakan Perempuan dengan Melatih Basket
Apa yang dialami oleh anak-anak perempuan tadi kemudian mengingatkan Sarah akan pengalaman buruknya di masa lampau. Ia juga pernah menjadi korban pelecehan seksual yang membuatnya sempat trauma dan menganggap dirinya tak berharga. Namun basket kemudian mengubah dirinya, ia kembali mendapatkan semangat dan secercah harapan untuk meneruskan hidup. Hal yang sama kemudian ia coba terapkan pada anak-anak perempuan di Sudan. Ia coba dengarkan cerita, keluh kesah mereka, tak lupa juga ia semangati mereka, bahwa mereka amatlah berharga.
Semenjak itu, Sarah berpikir untuk terus membantu anak-anak perempuan dari Sudan yang tak berdaya. Ia lalu mendirikan the Home At Home/Apediet Foundation, yayasan nirlaba yang fokus pada pengembangan dan pemberdayaan anak-anak perempuan. Tak hanya mendirikan pelatihan olahraga, organisasinya juga mengadvokasi pencegahan pernikahan anak dan penyediaan pendidikan bagi anak-anak kurang mampu.
Tujuannya satu: membantu terwujudnya mimpi mereka yang terbatas secara ekonomi. Terlebih, Sarah yakin bahwa banyak anak di Afrika sebenarnya memiliki potensi di atas rata-rata, hanya saja sedikitnya peluang dan akses membuat mereka tak bisa berbuat apa-apa. Sekarang, Sarah tak hanya mendirikan organisasi swadaya yang memberdayakan anak-anak dari kalangan papa, ia juga direkrut Toronto Raptors untuk mencari talenta-talenta basket dari benua Afrika.
Kesempatan ini tentu tak ia sia-siakan. Bagi Sarah, tugas baru setelah pensiun menjadi pemain justru semakin banyak, dan justru membuatnya lebih leluasa untuk berkontribusi kepada masyarakat. Apalagi Sarah percaya bahwa mimpi anak perempuan seharusnya tak dibatasi oleh budaya. Sama seperti laki-laki harapan mereka patut diperjuangkan dan direalisasikan.