Friday, October 25, 2024
spot_img
HomeFilmRepresentasi Pahlawan Perempuan dalam Film Thor: Love and Thunder

Representasi Pahlawan Perempuan dalam Film Thor: Love and Thunder

Apa jadinya ketika Thor (Chris Hemsworth), seorang dewa yang berhati besar nan gagah perkasa itu, secara tidak sengaja bertemu dengan Jane Foster (Natalie Portman) – mantan pacarnya di bumi yang super cerdas sekaligus astrofisikawan? Jika pertemuan mereka sekadar berjumpa di supermarket atau tempat publik lainnya, mungkin hanya akan menjadi pengalaman biasa saja. Masalahnya, keduanya ditemukan ketika Thor sedang bertempur dengan makhluk jahat di multiverse, jauh dari bumi. Di tengah pertempuran melawan kekuatan jahat terbaru, Thor mendadak melihat Jane, yang sekarang membawa palu miliknya yang terkenal memiliki kekuatan dahsyat. 

Jane bahkan mengenakan baju besi dan jubah merah, serta memiliki rambut pirang yang mengalir. Penampilan yang sama sekali berbeda dengan apa yang biasa lihat Thor ketika ia berada di bumi. Saking kagetnya, ketika Thor akhirnya bisa berkata-kata ia hanya dapat bergumam, “omong-omong, itu palu saya ya yang kamu pegang sekarang?” katanya, saat mereka saling menatap mata, “oh ya, kau juga mirip sekali dengan penampilanku.”

Percakapan tadi mengawali permulaan petualangan berliku antara Thor dan Jane. Seperti film-film superhero Marvel lain, film “Thor: Love and Thunder” karya Taika Waititi masih menyajikan sebuah romcom yang diselingi dengan pertempuran untuk menyelamatkan alam semesta. Mengandalkan resep andalan sinema kepahlawanan, Waititi sukses mengaduk emosi penonton dari suka ke duka selama hampir dua jam. Selain juga membawa banyak kritik agama, politik ke dalam film yang diproduseri oleh Kevin Feige dan Brad Winderbaum ini turut mendobrak stigma pahlawan yang sering familiar diidentikkan dengan laki-laki. 

Jane Foster, seorang perempuan saintis yang mendadak divonis menderita penyakit berat dan sulit disembuhkan, tiba-tiba dipertemukan dengan palu ajaib yang kemudian membantunya menjadi superhero. Dengan segala keajaiban, tak hanya membuat ia memiliki penampilan mencolok yang jauh berbeda dengan outfitnya sehari-hari, Jane juga sontak memiliki tenaga surya hingga bisa lihai bela diri. Perubahan drastis yang ia alami sayangnya tidak terjadi terus menerus. Hanya ketika ia berubah wujud sebagai superhero. Selepasnya, ia akan kembali menjadi manusia biasa dan bahkan terkadang energi yang ia habiskan saat menjadi pahlawan, berpengaruh terhadap imunitas tubuhya. Sehingga, dalam beberapa momen, ia tampak drop dan penyakitnya kian memburuk.

Meski begitu, dalam adegan-adegan selanjutnya, Jane tetap menampilkan sosok tangguh yang justru tak ingin dikasihani. Ia setia menemani Thor hingga titik darah penghabisan untuk terus berjuang menciptakan perdamaian di berbagai multiverse, tidak hanya bumi semata. Tokoh Jane bahkan menurut saya sangat apik dimainkan oleh Natalie yang membuat penonton terus berdecak kagum.

Terlepas dari plotnya yang berjalan terlalu cepat dan melompat-lompat, namun karakter Jane dan Thor mampu membius semua audiens untuk setia menyaksikan hingga akhir. Kedua tokoh tersebut sukses menyulap drama superhero yang plotnya mudah ditebak menjadi jauh berliku dan mengharu biru. Tak hanya itu, dengan minimnya jumlah superhero perempuan yang ada, karakter Jane tentu patut diparesiasi. Sebab ia ditampilkan amat kuat meski menderita penyakit sekalipun. 

Walau gebrakan Marvel perlu dihargai, namun dalam perkembangan superhero perempuan yang mereka ciptakan, ada beberapa catatan khusus yang ke depannya perlu mereka perbaiki. Poin kritik pertama berkaitan dengan ketergantungan Jane terhadap Thor. Bagaimana tokoh Jane tampak sekali ‘mengemis’ cinta sang dewa dan kesulitan untuk move on meski sudah putus. Tak hanya itu saja, dalam berbagai adegan pertarungan, tokoh superhero perempuan masih diperlihatkan terlalu bergantung kepada tindakan superhero laki-laki agar mereka bisa tampil dan berlaga. Dari tampilan ini, kian terlihat bahwa pekerjaan rumah untuk mengaburkan budaya kuat patriarki dalam sinema ternyata masih panjang. Oleh karena itu, selain pengarusutamaan gender yang perlu diperkuat di ranah para sineas, komunitas penikmat film pun perlu turut menebarkan narasi ramah gender agar film tak sebatas hanya menjadi hiburan, tapi juga tuntunan.

Hasna Azmi Fadhilah
Hasna Azmi Fadhilah
Hasna sedang menempuh studi doktoral antropologi politik di Universiteit van Amsterdam (UVA), Belanda. Di kala senggang ia berkomunitas di kelompok riset Gender and Sexuality PhD club di UVA dan masih berkolaborasi dengan teman-teman komunitas Puan Mmenulis. Sebelumnyaia mengajar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri dan Universitas Terbuka. Bisa dikontak melalui email: hasna.af@live.com atau melalui twitter @sidhila/Insta: @ngopidulubarunulis
RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments