Sebelum dilanda krisis kemanusiaan berkepanjangan, Yaman merupakan salah satu negeri terindah di Timur Tengah. Pariwisata di Yaman bahkan sempat menjadi primadona dan menarik banyak wisatawan ke sana. Ditilik dari sejarah, Yaman telah menjadi pusat pariwisata selama berabad-abad karena berada di posisi strategis, bisa dikatakan berada di perdagangan Timur Tengah dan Tanduk Afrika. Pariwisata memainkan peran mendasar pada kawasan ini dalam perdagangan global hingga abad ke-20.
Sayangnya situasi kemudian berubah drastis. Terjadi penurunan tajam di bidang wisata sejak Krisis Yaman di tahun 2011 lalu. Maraknya ekstremisme menimbulkan ketakutan bagi calon turis asing ke negara republik tersebut. Padahal Yaman memiliki empat situs warisan dunia yang amat mengagumkan. Namun beberapa situs mereka telah diserang termasuk kota tua bersejarah Sana'a, dan kondisinya kini porak poranda.
Potensi pemasukan Yaman kini semakin menipis. Tak hanya dihadapkan oleh konflik yang tak kunjung usai, pihak yang bertikai hingga kini masih belum bersepakat untuk menghentikan perang. Padahal, efek jangka panjang dari krisis ini sudah di tahap mengenaskan. Merujuk kantor berita Al Araby, Senin (21/3/2022) lalu, perang yang telah berkecamuk selama tujuh tahun di Yaman sudah membuat puluhan ribu orang meregang nyawa dan menyebabkan penduduk kesulitan memperoleh bahan pangan.
PBB bahkan mengatakan bahwa konflik di Yaman telah menghasilkan krisis kemanusiaan terbesar di dunia, dengan 24,1 juta orang – 80% dari populasi – membutuhkan bantuan dan perlindungan kemanusiaan secara penuh. Yang lebih miris, diperkirakan 19 juta orang Yaman akan kelaparan dalam beberapa bulan mendatang, sementara lebih dari 160.000 dari mereka akan menghadapi kondisi malnutrisi jika tidak ada intervensi pemberian bantuan.
Situasi di Yaman bahkan diestimasi semakin buruk karena berkurangnya pasokan gandum dari Ukraina, yang disebabkan oleh perang di sana. Bahkan kemungkinan perang antara Rusia dan Ukraina juga akan mendorong tingkat kelaparan di Yaman menjadi kian parah. Syukurlah, beberapa waktu lalu pihak pemerintah sepakat untuk menghentikan operasi militer sementara terhadap pihak pemberontak menjelang Ramadan. Keputusan tersebut tentu perlu dicermati dan diawasi oleh seluruh pihak. Bagaimana tidak?
Ini sebenarnya bukan kali pertama mereka berupaya untuk melakukan rekonsiliasi. Namun upaya genjatan senjata nyatanya gagal total. Kedua belah pihak yang berperang merasa sama-sama dirugikan atas tindakan lawan, sehingga hingga kini jalan perundingan damai masih sangat alot. Upaya yang dipimpin PBB untuk menengahi gencatan senjata di Yaman telah berulang kali terhenti karena kebuntuan antara pemberontak Huthi dan pemerintah berkaitan dengan siapa yang memiliki wewenang untuk mengendalikan barang, terutama bahan bakar yang memasuki pelabuhan Laut Merah Hodeida.
Antara kelompok separatis dan pemerintah sama-sama ingin menguasai dan tidak mau melepaskan bagian mereka sedikit pun. Sehingga, belum terucap kata sepakat untuk pembagian sumber daya. Kepemilikan dan wewenang sumber daya ini amatlah penting untuk menunjang rencana kebijakan dua aktor yang terlibat konflik. Hal ini dikarenakan ekonomi telah menjadi bagian integral dari upaya partai-partai untuk memperkuat posisi mereka sendiri sambil melemahkan saingan mereka.
Kontestasi ekonomi jua lah yang terus memicu pertempuran di garis depan dan menghambat upaya perdamaian. Jika Yaman benar-benar ingin lepas dari konflik, semua pihak yang terlibat terutama dari PBB perlu meyakinkan bahwa mereka tak hanya membutuhkan gencatan senjata militer semata. ‘Genjatan ekonomi’ perlu diberikan ruang untuk berlaku. Sebab, perebutan kekuasaan dan egoisme mempertahankan sumber daya ekonomi telah mengakibatkan rakyat Yaman sangat menderita.
Di satu sisi, elit-elit penguasa justru tenggelam di balik politik kuasa. Tak cukup dengan itu, para utusan PBB yang baru harus segera meluncurkan jalur mediasi untuk mengidentifikasi pemain kunci konflik ekonomi dan mulai meletakkan dasar untuk berdiskusi di meja perundingan. Di saat yang sama, pengumuman penghentian konfrontasi militer di bulan Ramadan belum sepenuhnya disetujui oleh pihak pemberontak.
Hal ini ditengarai karena dari pihak pemerintah sendiri juga tidak sepenuhnya memberikan info lengkap sampai berapa lama gencatan senjata akan berlangsung. Melihat kondisi yang semakin tak menentu, kita tentu berharap bahwa berkah Ramadan segera menerangi Yaman agar rakyat yang telah menderita berkepanjangan akan dapat menikmati indahnya perdamaian.