Tidak mudah memberikan visualisasi peran perempuan peacebuilders dalam situasi masyarakat yang tidak sedang berkonflik. Ini karena memang damai selalu dianggap disandingkan dengan konflik atau perang. Bagaimana dengan wujud peacebuilding dalam situasi absen konflik?
Saya ingin sekali membagi cerita sukses perempuan mediator dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual dengan pendekatan damai. Namanya An’An Yulianti, asli suku sunda, dan tinggal di Tasikmalaya sejak kecil. An’an memang terlahir sebagai mediator genuin. Kesibukannya luar biasa. Saat ini dia menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di 31 kota dan kabupaten di Tasikmalaya, yang menurutnya masih di angka cukup tinggi.
Pertama bertemu An’An saat ada Training of Trainer di Bandung pada tahun Januari 2015. Kesan pertama saya kepada An’an adalah dia orang yang sangat aktif. Dibuktikan dengan pembawaannya yang aktif berbicara dan tidak canggung dalam mengambil peran. Menurutnya, pelatihan yang diberikan AMAN Indonesia mengubah banyak hal, khususnya gaya kepemimpinannya. Terutama terkait dengan bahasa tubuh yang menunjukkan kerendahan hati, sehingga semua orang nyaman berinteraksi dengannya.
Pada tahun September 2019, AMAN Indonesia sekali lagi melibatkan An’an dalam Training Dialog Terstruktur dan Reflektif, sebuah training yang bertujuan membekali para ulama perempuan dengan ketrampilan berdialog untuk meningkatkan pemahaman terhadap yang berbeda. Training ini memang ditujukan kepada para ulama perempuan, tetapi mendinamisir aktor penggerak ulama perempuan akhirnya juga dilibatkan. Sesuai dengan peran dan konteks pekerjaannya, An’an melakukan inovasi yang keren, dengan mengaplikasikan teknik dialog terstruktur dan reflektif untuk menyelesaikan kebuntuhan dalam penanganan kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan maupun anak-anak.
Pagi 18 Juni 2021, jam 05.00 WIB, mungkin terlalu pagi buat sebagian kalian, tetapi perbincangan dengan An’an setelah sekian lama tidak tidak bertemu, cukup menguras emosi dan pikiran. Apalagi update sederetan kasus-kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak perempuan di Tasikmalaya, dimana pelaku adalah orang-orang yang seharusnya melindungi korban, tetapi sebaliknya memanfaatkan keluguan para korbannya.
Renungan Damai: Belajar dari Seorang An’an
Jika kalian pernah mendengarkan peran-peran heroik perempuan pada situasi konflik, maka kalian akan melihat bagaimana perempuan menggunakan pendekatan yang unik untuk membuka jendela kecil membangun interaksi kembali pada yang berkonflik. Alasan utama perempuan bergerak diantaranya karena ingin menghentikan konflik agar anak-anak mereka bisa segera sekolah lagi, agar perempuan bisa berjualan lagi di pasar, perempuan bisa kembali berkunjung ke keluarga dan tetangganya, dan yang paling utama agar keamanan warga segera pulih.
Telah banyak diceritakan dalam buku-buku penelitian, bahwa perempuan-perempuan di Aceh dan Maluku aktif dalam proses dialog membangun perdamaian. Tentu peran-peran mediator di saat konflik dan pada saat kondisi damai berbeda. Tetapi ada elemen kunci yang tidak boleh lupa yaitu tugas mediator adalah menyelesaikan persoalan bukan sebaliknya menyebabkan konflik.
Kisah yang saya ceritakan di atas, sangat jelas bahwa peran sebagai peacebuilders masihlah relevan dan masih pula kontekstual. An’an telah memberikan contoh yang nyata bagaimana ketrampilan sebagai mediator perdamaian diterapkan dalam konteks pendampingan kasus-kasus kekerasan seksual, dimana potensi konflik juga tinggi. Ada ciri khusus seorang yang memiliki skill mediator perdamaian, terlibat dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual, yaitu pendekatan damai, mulai dari pembawaan kepemimpinannya yang rendah hati, melihat semua orang setara sebagai manusia, mengedepankan dialog dan berorientasi pada keadilan bagi korban dan terjaganya kerukunan di masyarakat.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengutip tiga pembelajaran penting dari An’an. Berikut suaranya:
Saya merasakan betapa “damai dalam diri sendiri” merupakan kunci sukses dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual yang sering menyita waktu, energi, emosi, dan pikiran. Maka, jika diri sendiri dalam kondisi yang damai, maka akan mudah menyelesaikan kasus-kasus rumit
Saya merasa, penghormatan pada setiap orang harus setara, tidak boleh ada embel-embel jabatan atau status sosial. Ketika saya meminta semua orang yang ada dalam dialog melepaskan “lebel” masing-masing dan menjadi manusia saja, maka mereka bisa berbicara bebas tanpa takut salah, tetapi juga mengontrol sifat arogansi yang berlebihan.
Saya merasa, sebagai “peacebuilders’ (perempuan pegiat perdamaian), sangat penting melakukan pendekatan damai pada penyelesaian kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Mengedepankan sikap rendah hati, bahasa tubuh yang terbuka, dan menganggap semua manusia sama.