Indonesia dan banyak negara lainnya memiliki misi pemeliharaan dan pemajuan perdamaian yang merupakan cita-cita bersama yang terus diupayakan. Salah satu poin penting yang ditekankan Kementerian Luar Negeri RI yaitu meningkatkan keselamatan dan kinerja misi pemeliharaan perdamaian (MPP) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah pemajuan peranan perempuan. Mereka sejatinya memegang peranan penting dalam pencegahan dan manajemen konflik, serta bina damai setelah konflik.Â
Pada tahun 2008 salah satu perempuan peacekeeper atau pasukan penjaga perdamaian perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dari Indonesia diterjunkan sebagai penjaga perdamaian di daerah konflik. Letnan Kolonel Ratih Pusporini berperan sebagai Militer Observer dalam kontingen Garuda yang bertugas di Kongo mencerminkan peran perempuan dalam sebuah misi perdamaian.Â
Menurut pembacaan beberapa sumber berita, Ratih Pusparini menjadi satu-satunya peacekeeper perempuan TNI yang pernah mengikuti misi PBB UNSMIS atau singkatan dari United Nations Supervision Mission in Syria yang artinya Misi Pengawasan PBB di Suriah pada April-Agustus 2012.Â
Misi gerakan perdamaian yang dilakukan Ratih Pusporini mengamanatkan pendekatan terhadap perempuan dan anak-anak di daerah konflik dalam bentuk Civil Military Cooperation (CIMIC) yang umumnya berupa bantuan kemanusiaan. Dalam praktik tersebut, mereka berpartisipasi dalam mengajar, memberikan fasilitas pengobatan, maupun memfasilitasi gencatan senjata dan proses perdamaian.
Perempuan sebagai Agen Perdamaian
Peran perempuan dalam menjaga perdamaian sangat krusial dalam rangka pemenuhan misi kemanusiaan. Meski begitu, keterlibatan perempuan dalam agenda perdamaian belum begitu masif. Data UN Women menunjukkan bahwa terdapat 2% mediator perempuan, 5% negosiator perempuan, dan 5% saksi dalam penandatanganan perjanjian perdamaian perempuan dari 1.187 perjanjian perdamaian rentang tahun 1990-2017. Hingga 31 Maret 2019, terdapat 3.472 personel militer perempuan, dan 1.423 personel polisi perempuan dari total 89.681 personel penjaga perdamaian, atau 5,46%.Â
Bahkan selain itu, Indonesia sempat menduduki posisi delapan dari 124 negara penyumbang personel terbesar dengan 3.080 personel. Dari jumlah tersebut, 106 di antaranya adalah perempuan (female peacekeepers), yang bertugas di delapan misi perdamaian PBB dengan menerapkan penanganan kekerasan berbasis gender (Gender Based Violence/GBV) dan kekerasan seksual terkait konflik (Conflict Related Sexual Violence/CRSV) yang responsif dan sensitif gender.
Resolusi 1325 PBB sebagai langkah konkrit Dewan Keamanan PBB sebab mendorong partisipasi perempuan secara penuh dalam upaya memelihara perdamaian dan memastikan keamanan dalam situasi konflik. Maka dapat dipahami dalam konteks yang luas bahwa perempuan juga memainkan dan mengambil peran kunci dalam mempertahankan perdamaian di bidang ekonomi, sosial, dan budaya di negara-negara yang dilanda peperangan dan konflik.
Pengalaman Khas Perempuan Perannya dalam Situasi Konflik
Perempuan dengan kekhasannya, memiliki rahim yang dekat dengan narasi kehidupan, membentuk karakter merawat dan memelihara sangat dibutuhkan dalam agenda perdamaian dan penanganan konflik. Pengalaman biologis perempuan seperti menstruasi, hamil, dan menyusui mempertajam kepekaan dalam merespon konflik. Â
Misalnya melakukan pendekatan yang lebih empatik, afektif, dan nir kekerasan. Selain itu juga bantuan yang mengakomodir kebutuhan perempuan dan kelompok rentan lainnya; pembalut, popok bayi, dan sebagainya.Â
Kelebihan perempuan pada kepekaan inilah dapat mengeksplorasi irisan-irisan dan diversitas dalam melihat realitas dalam situasi konflik sehingga dapat membangun rasa aman dan nyaman. Penjaga perempuan lokal atau dalam istilahnya (early peace-builders & role model) penting mendorong aktivitas perdamaian, termasuk yang berkaitan dengan keamanan seperti proses gencatan senjata, demobilisasi, reintegrasi, dan negosiasi.Â
Untuk itu, perdamaian di berbagai wilayah penting diwujudkan dengan partisipasi perempuan. Kita tentu butuh lebih banyak penguatan kapasitas terhadap perempuan yang mau belajar dan bergerak bersama untuk saling merawat perdamaian dan membangun resiliensi masyarakat.Â
Komitmen politik yang kuat dalam dan luar negeri untuk berinvestasi pada mainstreaming human security, termasuk pemberdayaan perempuan. Tidak hanya untuk meningkatkan peran perempuan di komunitas, tetapi juga dalam pengambilan keputusan di berbagai tingkat dan partisipasinya dalam proses perdamaian.