Maria Ressa merupakan jurnalis asal Filipina yang dikenal karena keberaniannya dalam membela kebebasan pers dan demokrasi. Ia mendirikan Rappler, sebuah media digital independen yang kerap mengkritik kekuasaan yang sewenang-wenang, serta mengungkap kasus-kasus korupsi dan penyebaran disinformasi.
Melalui karyanya, Ressa berupaya menjaga ruang publik tetap terbuka bagi kebenaran, meskipun harus menghadapi berbagai tekanan, ancaman, bahkan kriminalisasi dari pihak berkuasa. Perjuangannya di dunia jurnalistik, selain berdampak di Filipina juga memberi pengaruh besar bagi upaya perdamaian di kawasan Asia Tenggara.
Perempuan kelahiran Manila pada 2 Oktober 1963 ini, pindah ke Amerika Serikat pada usia muda setelah darurat militer diberlakukan di Filipina. Ia kemudian kuliah di Universitas Princeton dan lulus dengan gelar Sastra Inggris.
Setelah menamatkan studi di perkuliahan, Ressa kembali ke negaranya melalui program beasiswa Fulbright, tepat saat Revolusi Kekuatan Rakyat menggulingkan rezim otoriter Ferdinand Marcos.
Dari Jurnalistik, Suarakan Perdamaian
Di masa transisi itu, Ressa mulai terjun ke dunia jurnalistik. Ia bekerja di beberapa media besar seperti ABS-CBN dan CNN. Selama lebih dari satu dekade, ia meliput berbagai peristiwa politik penting di Asia Tenggara, termasuk enam kali percobaan kudeta terhadap Presiden Corazon Aquino, kejatuhan Presiden Soeharto, hingga konflik kemerdekaan Timor Timur atau sekarang telah resmi menjadi Timor Leste.
Di luar pekerjaannya sebagai reporter, Maria Ressa dikenal karena liputan investigatifnya tentang terorisme dan kekerasan di kawasan Asia Tenggara. Setelah serangan 11 September 2001, ia meneliti jaringan militan Jemaah Islamiyah yang terkait dengan al-Qaeda, dan menulis buku Seeds of Terror pada tahun 2003.
Penelitiannya tidak berhenti di situ. Ia juga menyoroti bagaimana kelompok ekstremis menggunakan media sosial untuk menyebarkan paham radikal. Hal ini ia tulis dalam buku From Bin Laden to Facebook yang terbit tahun 2013. Maria Ressa tidak hanya menulis dari belakang meja, tetapi benar-benar turun ke lapangan dan mengungkap fakta-fakta yang sering diabaikan oleh media besar.
Pada tahun 2012, Ressa mendirikan Rappler, sebuah media digital independen yang dengan cepat menjadi salah satu suara kritis terhadap kekuasaan di Filipina. Rappler menjadi perhatian luas saat mewawancarai Rodrigo Duterte yang secara terang-terangan mengaku telah membunuh orang.
Setelah Duterte menjadi presiden, Rappler menjadi salah satu dari sedikit media yang berani mengkritik kebijakan perang terhadap narkoba yang menyebabkan ribuan kematian tanpa proses hukum.
Ressa dan timnya juga mengungkap bagaimana pemerintah menggunakan media sosial untuk menyebarkan kebohongan, membungkam lawan politik, dan mengendalikan opini publik. Karena keberaniannya, Ressa dihadapkan pada berbagai tuduhan hukum, termasuk pencemaran nama baik dan penggelapan pajak. Ia sempat ditahan dan divonis bersalah, tetapi juga meraih kemenangan hukum pada tahun 2023 dan 2024.
Nobel Perdamaian Maria Ressa
Perlawanan Ressa dipandang masyarakat dunia. Pada tanggal 8 Oktober 2021, Maria Ressa mencatat sejarah sebagai orang Filipina dan perempuan Asia Tenggara kedua yang dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian. Ia menerima penghargaan ini bersama Dmitry Muratov, jurnalis dari Rusia, karena keberanian mereka dalam membela kebebasan berekspresi di negara yang otoriter dan berisiko tinggi bagi wartawan.
Komite Nobel menyebut mereka sebagai perwakilan dari seluruh jurnalis yang memperjuangkan kebenaran dalam dunia yang terus terancam disinformasi dan penyempitan ruang sipil. Bagi Ressa, penghargaan ini bukan sekadar pencapaian pribadi, tetapi bentuk pengakuan bahwa kebebasan pers adalah pondasi penting untuk mewujudkan perdamaian dan memperkuat demokrasi.
Perjalanan Ressa menuju panggung Nobel tidak mudah. Sejak Rappler mulai mengkritik Presiden Rodrigo Duterte dan kebijakan brutal “perang terhadap narkoba”, ia dan medianya menjadi target serangan dari berbagai arah. Pemerintah Filipina menggugat Rappler dalam berbagai kasus hukum (mulai dari pencemaran nama baik digital, pelanggaran hukum media asing, hingga penggelapan pajak).
Di tahun 2020, Ressa dinyatakan bersalah dalam kasus pencemaran nama baik siber, sebuah vonis yang dipandang luas sebagai serangan terhadap kebebasan pers. Meski menghadapi kemungkinan penjara, ia tidak berhenti bekerja dan tetap tampil di forum-forum internasional untuk mengungkap bahaya manipulasi informasi di era digital.
Yang membuat perjuangannya istimewa adalah keberaniannya untuk tetap bertahan di negaranya, saat banyak aktivis dan jurnalis lain memilih pergi demi keselamatan. Ressa yakin bahwa kebenaran harus diperjuangkan dari dalam.
Ia menyuarakan pentingnya jurnalisme independen dalam menghadapi ancaman otoritarianisme yang kini tidak hanya berbentuk senjata, melainkan juga algoritma dan propaganda online. Ia menggunakan prinsip bahwa “tanpa fakta tidak ada kebenaran, dan tanpa kebenaran tidak ada kepercayaan.” Ressa mengajak dunia untuk tidak diam terhadap penindasan berbasis kebohongan.
Pidato Inspirasi Maria Ressa di Harvard University
Pada tanggal 23 Mei 2024, jurnalis asal Filipina dan peraih Nobel Perdamaian 2021, Maria Ressa, mendapat kehormatan untuk menyampaikan pidato utama dalam acara wisuda ke-373 Universitas Harvard.
Ia berbicara di hadapan para lulusan dan tamu undangan tentang ancaman besar yang ditimbulkan oleh media sosial. Menurut Ressa, media sosial telah menjungkirbalikkan dunia dengan menyebarkan kebohongan demi kekuasaan dan keuntungan. “Media sosial menyebarkan kebohongan sekaligus memperbesar ketakutan dan kemarahan, serta memicu kebencian. Secara desain. Untuk keuntungan,” ujar Ressa dalam pidatonya.
Dalam pidatonya, Ressa juga membagikan pengalaman pribadinya sebagai jurnalis yang menghadapi tekanan dari pemerintah Filipina. Ia menyebut bahwa dirinya pernah menerima 90 pesan kebencian per jam dan harus membayar uang jaminan delapan kali dalam tiga bulan.
Ressa menutup pidatonya dengan harapan agar generasi muda tidak bersikap sinis dan berani menjadi agen perubahan. “Kita hidup di masa eksistensial. Perang tidak hanya terjadi di Gaza atau Ukraina. Perang ada di ponsel di saku Anda,” pungkasnya.
Sumber:
Zelazko, A. (2023). Maria Ressa | Biography, Journalist, Nobel Prize, Princeton, & Facts | Britannica. [online] www.britannica.com. Available at: https://www.britannica.com/biography/Maria-Ressa.