Figur Sirto menarik untuk dikenali. Bukan saja karena suami Rohimah, tetapi proses perubahan yang ditunjukkan oleh Sirto sungguh mengagumkan. Sebagai seorang suami, restunya kepada Rohimah untuk mendapatkan keilmuan dari program AMAN Indonesia, selalu hadir, lebih dari sekedar mendukung. Bahkan ketika banyak istri tidak dapat ijin dari suami, Sirto terlibat dalam membujuk sejumlah bapak-bapak.
Sirto tak segan menceritakan perubahan Rohimah, istrinya kepada para bapak saat mereka ngopi bareng, atau ngobrol santai di rumahnya atau di RPTRA. Ini dia lakukan karena perubahan positif istrinya telah banyak mempengaruhi dirinya dan anak-anaknya. Sirto diam-diam belajar tentang kesetaraan gender dari buku-buku dan materi Sekolah Perempuan. Dia juga kemudian mengambil alih sebagian pekerjaan rumah, termasuk melayani diri sendiri seperti membuat kopi atau memasak mie dan sebagainya. Dia merasa dia bisa melakukan sendiri, tidak perlu melibatkan istri.
Dengan mengambil 50% pekerjaan istri di rumah, Sirto merasa lebih punya waktu untuk ngobrol santai dengan istri, semakin tebal rasa kasih sayangnya, dan semakin percaya dengan istri. Ini karena waktu yang mereka miliki semakin berkualitas. Bayangkan jika istri harus melakukan semua hal, tentu tidak akan memiliki waktu untuk bersama suami. Suatu saat seorang suami menamperin Rohimah dan mengatakan ,” Saya bilang ke Istri, saya yang akan ganti popok dedek. Dan setelah saya melakukan, saya merasakan ada kedekatan yang belum pernah saya rasakan. Saya senang sekali,” begitu pengakuan seorang suami setelah mencobakan saran-saran Sirto.
Persoalan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Sirto juga menjadi aktif untuk menyuarakan ke para tetangga. Dengan cara khasnya, ketika ada pembicaraan yang menyangkut isu KDRT, Sirto mengambil momentum menjelaskan bahwa KDRT tidak baik. Istri dan Anak kalau mendapatkan kekerasan akan mengalami trauma. Persoalan penelantaran anak juga banyak terjadi. Maka Sirto selalu menyarankan kalau anak harus dibekali ketrampilan. Dia memberikan referensi kepada orang tua agar anak-anak mereka diikutkan training-training yang diselenggarakan oleh kelurahan.
Tantangan: Diversitas v.s Resiliensi
Secara alamiah keragaman itu hadir di dalam kehidupan kita. Termasuk keragaman pada watak setiap orang. Kita tidak bisa mengharapkan semua orang memiliki watak yang sama. Di Pondok Bambu, selain ada banyak para keluarga yang mendukung program-program pemberdayan perempuan, dan segala upaya mendorongkan perubahan, Rohimah masih menemukan orang- orang yang selalu negatif merespon segala bentuk inisiatif.
Persepsi salah orang tentang pola kerja Rohimah yang belum melihat sebagai kerja tim. Meskipun nama Rohimah sering dijadikan rujukan untuk pemberdayaan perempuan. Ini bukan berarti dia bekerja sendiri. Rohimah dan Sekolah Perempuan identik. Keterlibatan Wiwin, Ciptaning, Umi dan sejumlah ibu-ibu yang aktif dalam merespon persoalan Covid 19, sebagai bukti bahwa Rohimah tidak sendiri. Para ibu yang setia menggaungkan peduli dan saling menolong, adalah para pengembang amanah perdamaian.
Tidak mungkin berharap semua orang memberikan respon positif pada perubahan. Tetapi juga tidak mungkin meniadakan yang berpikiran negatif. Keberadaan keduanya adalah perimbangan. Kelompok berpikir negatif dan oposisi, biasa disebut divider, dibutuhkan dalam masyarakat untuk melihat sisi berbeda. Anggap mereka memberikan kritik dan masukan secara gratis. Sementara kelompok yang mendukung atau biasa disebut connector , mereka sangat bisa digerakkan untuk kepentingan bersama. Tapi dalam proses untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan bersama, maka keduanya penting ditempatkan dalam proses yang berbeda, tapi saling mendukung.
Resiliensi masyarakat akan tercipta ketika para connector semakin kreatif untuk melahirkan inovasi perdamaian di masyarakat dalam bentuk aksi kemanusiaan yang konkrit. Pemimpin seperti Rohimah, harusnya bisa menciptakan lebih banyak lagi para konektor dari berbagai kelompok yang berbeda. Yang paling krusial adalah para penggerak perempuan haruslah memiliki kemampuan mengelolah konflik, agar tidak menjelma menjadi kekerasan. Maka konsistensi menggunakan cara-cara non kekerasan untuk menghadapi para divider, perlu terus ditingkatkan. Karena dengan konsisten melakukan cara-cara non kekerasan, siklus kekerasan dapat dicegah. Perempuan begitu dekat dengan narasi perdamaian, maka mereka memiliki berbagai cara genuin untuk menyampaikan pesan damai. ***