Pusat Studi Gender dan Anak didukung oleh Rumah Kitab, JASS dan Hivos mengambil salah satu sesi paralel diskusi pada perhelatan KUPI II. Tepatnya pada 25 November 2022 di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri, Jepara pada Jam 15.30-17.00 WIB. Adapun narasumber yang akan dihadirkan dalam seri paralel tersebut antara lain Prof. Dr Atun Wardatun dari UIN Mataram, Prof. Dr. Alimatul Qibtiyah dari Komnas Perempuan, dan Khasan Ubaidillah, M.PdI dari UIN Raden Mas Said Surakarta.
Dimoderatori oleh Dr Mufliha Wijayati sebagai coordinator PSGA Nasional di PTKIN/PTKIS, sesi paralel ini akan dikemas dalam bentuk talk show dan kepesertaan partisipatif. Karena bertujuan untuk menggali pengalaman PSGA dalam penanganan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi, maka yang akan didiskusikan adalah bagaimana menuju lembaga yang kuat untuk menciptakan lembaga pendidikan yang aman bagi seluruh civitas academika. Lantas apa hubungan PSGA, keulamaan, dan penanganan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi?
Penanganan Kekerasan Seksual Dimulai Dari Perguruan Tinggi Yang Responsif Gender
Pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 menginstruksikan agar pengarusutamaan gender dimasukkan ke dalam seluruh proses pembangunan. Pengarusutamaan gender adalah bagian yang tidak terpisahkan dari instansi dan lembaga pemerintah, termasuk lembaga pendidikan. Salah satunya diwujudkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PP & PA) dengan menyusun indikator Perguruan Tinggi Responsif Gender (PTRG) bersama dengan Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) di tahun 2019.
Namun sayangnya, indikator yang telah disusun tersebut masih sangat global. Sehingga tidak semua perguruan tinggi memiliki kesiapan dan infrastruktur yang sama dalam mewujudkan PTRG. Maka dari itu, indikator Perguruan Tinggi Responsif Gender (PTRG) perlu dibahas lebih detail agar operasional. Atas dasar itulah, JASS dan Hivos mendampingi Rumah KitaB dalam memfasilitasi aliansi PTRG untuk menyusun draff operasionalisai PTRG.
Alinasi PTRG terdiri dari 8 perguruan tinggi meliputi IAIN Metro, IAIN Pekalongan, IAIN Ponorogo, UIN Walisongo Semarang, UIN Raden Mas Said Surakarta, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda, dan UNISNU Jepara. Aliansi ini terbentuk karena ada program penyusunan operasionalisasi draff Perguruan Tinggi Responsif Gender (PTRG).
Dalam mewujudkan PTRG, maka perguruan tinggi harus memenuhi sembilan indikator yaitu: 1) Adanya Pusat Studi Gender dan Anak atau Pusat Studi Wanita; 2) Memiliki data profil gender perguruan tinggi; 3) Adanya peraturan rektor tentang implementasi pengarusutamaan gender (PUG) di perguruan tinggi; 4) Pendidikan & pengajaran responsif gender; 5) Penelitian responsif gender; 6) Pengabdian masyarakat terintegrasi gender; 7) Tata kelola perguruan tinggi responsif gender; 8) Peran serta sivitas akademika dalam perencanaan sampai dengan evaluasi & tindak lanjut tridarma perguruan tinggi yang responsif gender; 9) Zero tolerance kekerasan terhadap perempuan dan laki- laki.
Sembilan indikator tersebut dipadatkan menjadi empat bagian kunci: Pertama, Kelembagaan yang meliputi: adanya Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak atau Pusat Studi Wanita, memiliki data profil gender perguruan tinggi, dan adanya peraturan rektor tentang implementasi pengarusutamaan gender (PUG) di perguruan tinggi. Kedua, Tridarma perguruan tinggi yang meliputi: pendidikan & pengajaran responsif gender dan inklusi sosial, penelitian responsif gender, dan pengabdian masyarakat terintegrasi gender. Ketiga, tata kelola & monitoring/evaluasi yang meliputi penganggaran responsif gender. Keempat, Budaya nirkekerasan terhadap laki-laki dan perempuan.
Hal ini menunjukkan bahwa penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi, harus didukung oleh kelembagaan yang baik. Baik dari segi kelembagaan PSGA sebagai salah satu unit yang focus kajiannya pada gender dan anak, Tri Dharma, tata Kelola dan anggaran yang responsive gender. Jika indicator ini sudah dipenuhi, maka penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi bisa maksimal.
Kerja PSGA Seiring dengan Misi KUPI dan Keulamaan
Misi KUPI yaitu membangun pengetahuan, saling belajar dan berbagi pengalaman, sekaligus meneguhkan nilai-nilai keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan. Sifat dan karakterirstik KUPI adalah non-partisan, inklusif, parsitipatoris serta lintar organisasi, latar belakang, dan generasi. Masruchah dalam acara talks KUPI yang diadakan pada 2 November 2022 menyatakan bahwa ulama perempuan adalah semua pihak yang berada di lingkar pesantren, majelis taklim, pusat studi gender dan anak, dan lain sebagainya.
Maka kerja PSGA memiliki keterkaitan yang erat dengan misi KUPI secara umum. PSGA dibentuk sebagai salah satu upaya perguruan tinggi untuk menciptakan lembaga yang responsive gender dan mewujudkan lingkungan nir kekerasan seksual. Sedangkan KUPI juga aktif terlibat dalam proses perumusan UU Penghapusan Kekerasan Seksual dan mengawal hingga proses pengesahan dan implementasinya. Perjuangan keduanya juga sama, bagaimana agar korban kekerasan seksual tidak diposisikan sebagai pelaku dan mendapatkan perlindungan hukum.
Implementasi pengaurusutamaan gender di perguruan tinggi akan tercipta jika seluruh elemen di lembaga pendidikan menjadikan nilai kesetaraan dan kemanusiaan sebagai nilai pokok yang dijadikan landasan. Pengaurusutamaan gender bukan masalah pemberian dukungan pada jenis kelamin tertentu dengan mendiskriditkan jenis kelamin lainnya. Namun pengarusutamana gender adalah sebuah upaya untuk memberikan perlindungan bagi pihak yang paling terdiskriminasi diantara pihak lainnya.
Diharapkan setelah mengikuti sesi paralel tersebut, pada peserta bisa melakukan refleksi. Mengenai kondisi, sarana dan prasarana, kelembagaan dan Pendidikan. Di mana pengajaran perlu mendukung implementasi pengarusutamaan gender di lembaga pendidikan masing-masing.