Wednesday, March 26, 2025
spot_img
HomeCeritaKisah Anggun yang Terbatasi Radikalisme di Sekolah

Kisah Anggun yang Terbatasi Radikalisme di Sekolah

Setiap hari, Anggun merasa terpaksa ketika hendak berangkat ke sekolah. Ia merasa, sekolahnya itu bukan merupakan tempat aman untuk menuntut ilmu. Waswas, takut, tidak bebas berteman, tidak bebas belajar, tidak bebas berekspresi, itu yang dirasakan Anggun tiap di sekolah. 

Sekolah Favorit Terpapar Kelompok Radikal dan Pembatasan Perempuan

Tidak ada yang menyangka kalau SMA Kenanga yang merupakan sekolah favorit di kota itu terpapar paham radikalisme. Ketika awal diterima di SMA, Anggun dan murid-murid lain wajib mengikuti pendidikan karakter yang dipimpin oleh kakak kelas. Mereka diputarkan motivasi-motivasi hijrah, khilafah, ‘membela agama’, jihad, diberikan doktrin-doktrin melalui video, dan ceramah-ceramah penuh narasi tidak menyejukkan.

Tidak hanya mendapatkan giringan-giringan untuk hijrah oleh kelompok Rohis (Rohani Islam), anak-anak SMA dipandang berbeda kalau tidak memakai seragam yang dianggap ‘syar’i’ menurut kelompok mereka. Perempuan-perempuan dinarasikan tubuh dan suaranya adalah aurat, disuruh untuk selalu malu dan menundukkan pandangan, dan saat itu ada aturan wajib memakai jilbab berbentuk persegi. Anggun terpaksa menuruti meskipun saat itu ia merasa tidak cocok memakai jilbab persegi.

Dulu Anggun juga sering mengikuti akun-akun dakwah yang isinya doktrin-doktrin yang membatasi perempuan. Sehingga pernah Anggun berpikiran kalau perempuan harus membatasi diri, dimulai dari pakaian, dan mengurangi berbicara di depan umum. 

Tidak Bergabung tapi Tetap Terbatasi

Bersyukur saat itu Anggun tidak sampai bergabung dengan Rohis yang disusupi paham radikal. Meskipun tidak bergabung dalam Rohis, ia merasa terbatasi ketika berada di lingkungan sekolah karena posisi kelompok mereka sangat kuat dan mendominasi.

Akibatnya, saat itu Anggun merasa kurang percaya diri, tidak bisa berpenampilan seperti yang ia pilih, membatasi mencari relasi pertemanan, dan membatasi caranya mencari pengetahuan, takut dianggap menyimpang sehingga takut untuk sekadar menuliskan opininya. Hari-harinya begitu muram saat itu.

Kepala Sekolah Permisif

Anggun tidak tahu mengapa saat itu pengaruh kelompok radikal di sekolahnya kian besar. Kepala sekolah dan guru meskipun tidak mengikutinya, namun mereka tidak berbuat apa-apa. Kelompok radikal itu makin tumbuh subur dan memiliki posisi yang kuat di sekolah Anggun. Apalagi didukung oleh alumni-alumni sebelumnya. Kepala sekolah pun terkesan permisif terhadap ajaran-ajaran yang dampaknya membatasi murid-muridnya.

Dakwah yang dilontarkan oleh kelompok radikal itu memaksa dan mengganggu kenyamanan. Anggun pun kadang membolos ketika ada pengajian yang dilakukan oleh kelompok radikal dan alumni-alumni itu tiap Jumat pagi. Ia sungguh tidak tahan dengan pembatasan dan ajaran-ajaran kekerasan yang terus ditanamkan.

Kajian-kajian di sana tidak jauh dari topik larangan hormat kepada bendera, perempuan yang disalahkan tidak memakai jilbab dan akan menyeret laki-laki ke neraka, perempuan tidak berjilbab diibaratkan lolipop tidak berbungkus yang dikerubungi semut, hingga doktrin beramal tanpa perhitungan dan mengosongkan dompet. Parah sekali ketika teman-temannya percaya dan melakukan hal tersebut.

Memilih Aktif di Komunitas Luar Sekolah

Anggun pun memilih lebih aktif di luar sekolah, seperti mengikuti kegiatan bersama komunitas budaya di kotanya. Ia merasa lebih nyaman berada di sana karena para anggota terbuka, terdiri dari beragam latar belakang, bisa menjadi diri sendiri, dan tidak dihakimi dengan cara berpakaian pilihannya.

Sekolah Bisa Apa?

Sejak aktif di luar sekolah, ia menjadi lebih berenergi untuk melanjutkan kehidupan, mulai percaya diri dan mencintai diri kembali. Anggun sangat menyayangkan sekolah yang seolah tutup mata dan memudahkan para alumni mengadakan kegiatan di sekolah. Padahal, kegiatan tersebut menyebarkan paham radikal yang berakibat buruk jangka panjang.

Banyak orang tua tentunya memiliki ekspektasi tinggi terhadap sekolah, padahal sekolah tersebut disusupi oleh paham radikal dan ekstrem. Seharusnya, sekolah bisa menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk belajar, berekspresi, berdiskusi, dan mengeluarkan pendapat. Semoga ke depannya kepala sekolah dan guru lebih bisa menyaring kegiatan yang diadakan dan komunitas yang masuk ke sekolah. Selain itu, pelajaran mengenai berpikir kritis, logis, empati, kebebasan berekspresi pelu digaungkan.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments