Inggit Garnasih, tokoh perempuan pra-kemerdekaan yang mungkin tidak sepopuler tokoh-tokoh lainnya. Namun, perannya bagi perjalanan kemerdekaan Indonesia, khususnya kehidupan Soekarno, tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia memang terlahir dari keluarga petani yang sederhana, tetapi dalam perjalanan hidupnya ia berhasil menjadi induk semang yang kemudian menjadi penyokong Soekarno dalam perjalanan panjang menuju kemerdekaan.
Tak seperti Soekarno yang mengenyam pendidikan tinggi, Inggit adalah lulusan Madrasah Ibtidaiyah (MI). Namun, siapa sangka, bahwa ia benar-benar memiliki kecerdasan emosional yang dinilai tak biasa. Bahkan, Soekarno secara gamblang menyebutnya sebagai “Tulang Punggung” dan “Tangan Kanan” baginya.
Pengakuan ini tertera dalam buku “Bung Karno Sang Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” yang ditulis oleh Cindy Adams, “Selama ini kau jadi tulang punggungku dan menjadi tangan kananku selama separuh hidupku,” kata Soekarno mendeskripsikan kiprah Inggit Garnasih.
Perjuangan Inggit Meraih Kemerdekaan Indonesia
Pernyataan tersebut bukan tanpa alasan. Atas dukungan Inggit, Soekarno berhasil menamatkan pendidikan di Technische Hoogeschool te Bandoeng hingga meraih gelar insinyur. Tak hanya dukungan secara moral, Inggit juga menjadi penyokong finansial dalam keluarga.
Ia dikenal sebagai perempuan yang bisa mengerjakan apa pun untuk menyambung hidup dan perjuangannya. Mulai dari menjahit, membuat bedak, rokok, jamu, hingga menjadi agen cangkul dan sabun. Bagi Soekarno, Inggit bukan hanya sebagai istri, tetapi juga sebagai ibu, guru, dan temannya.
Pintu rumahnya selalu terbuka lebar untuk perjuangan. Tak hanya sekadar tempat tinggal, tetapi juga sebagai basecamp untuk para pemuda, mahasiswa, dan tokoh pergerakan yang mencari ruang aman dan nyaman untuk diskusi.
Inggit selalu menjamu yang datang dengan baik, sambil mendengarkan percakapan-percakapan yang kelak menjadi bagian sejarah kemerdekaan. Di balik pintu rumah yang sederhana ini, ide-ide besar tumbuh dan berkembang, strategi dirancang untuk direalisasikan, serta semangat yang dipupuk hingga subur.
Momen paling mengharukan dalam perjalanan Inggit mendukung suaminya adalah ketika Soekarno ditahan di Banceuy. Ia tidak pernah absen hadir, secara rutin membawakan bekal ke penjara.
Bukan hanya makanan, tetapi juga uang, dengan tujuan agar kehidupan Soekarno di sana mendapat kelonggaran. Tak sampai di situ, selama masa pengasingan di Ende dan Bengkulu, lagi-lagi Inggit yang berperan dalam aktivitas ekonomi demi mendanai kehidupan dan perjuangan Soekarno untuk mempersiapkan kemerdekaan.
Inggit Garnasih merupakan gambaran nyata bagaimana perempuan dapat menjadi pelindung, penyokong, dan penggerak tanpa harus berada di garis depan pertempuran fisik. Ia menjaga ruang aman bagi gagasan, memelihara keberanian orang-orang di sekitarnya, dan memastikan perjuangan tetap berjalan. Semua itu ia lakukan dalam diam, tanpa pamrih, dan seringkali tanpa catatan sejarah.
Perjuangan Inggit Meraih Kemerdekaan Dirinya
Namun, kehidupan juga menguji keteguhannya. Pada tahun 1943, ketika Soekarno memutuskan untuk menikahi perempuan lain, Inggit memilih berpisah. Ia menolak poligami, meski keputusan itu berarti meninggalkan kehidupan yang telah ia bangun selama dua dekade bersama Soekarno. Ia memulai kembali hidupnya dengan utuh, merdeka, bermartabat, tanpa membawa dendam. Bahkan di akhir hayatnya, ia memaafkan mereka yang pernah melukainya.
Warisan Inggit bukan hanya pada kisahnya sebagai istri seorang proklamator. Ia adalah bukti perempuan yang merdeka dan penggerak perubahan, meskipun namanya jarang disebut. Bung Karno sendiri mengakui, berkali-kali di hadapan publik, bahwa Inggit adalah tulang punggungnya, tangan kanannya selama separuh hidupnya.
Pengakuan ini menegaskan bahwa perjuangan besar selalu ditopang oleh kekuatan yang tak selalu terlihat. Meski perannya besar, pengakuan negara belum sebanding. Usulan untuk menjadikannya pahlawan nasional telah diajukan, tetapi selalu tertunda.
Hal ini mencerminkan betapa kontribusi perempuan, terutama yang bekerja di ruang-ruang non-formal, masih kerap luput rekognisinya. Padahal, kisah Inggit Garnasih benar-benar menunjukkan bahwa perempuan punya kekuatan untuk mewujudkan perubahan dan merdeka dari segala hal yang menjajahnya.
Inggit Garnasih wafat pada 13 April 1984, di usia 96 tahun. Ia meninggalkan teladan keteguhan hati, keberanian mengambil keputusan sulit, dan kemampuan menjaga api perjuangan tetap menyala bahkan di tengah badai.
Sejarah Indonesia tidak lengkap tanpa kisah perempuan seperti Inggit, yang dalam senyap telah menjadi penyangga, pelindung, dan penggerak bangsa. Melalui jejaknya, kita diingatkan bahwa perempuan memiliki kekuatan untuk mewujudkan kemerdekaan bagi negara, bangsa, bahkan dirinya sendiri.