Tuesday, September 16, 2025

Srikandi Lintas Iman: Membuka Ruang Perjumpaan bersama Kelompok Berbeda

Pernahkah terlintas bayangan tentang dua kelompok yang berbeda latar belakang bisa duduk bersama, berbagi cerita, dan saling mendengarkan? Di tengah perbedaan atas nama keyakinan yang kerap muncul di ruang-ruang publik, ada keberanian yang lahir dari para perempuan. 

Mereka   hadir dan bersuara, menjembatani perbedaan. Di kota pelajar Yogyakarta, langkah-langkah mereka menjelma sebagai upaya besar menjaga harmoni, menghadirkan ruang perjumpaan yang ramah dan setara.

Dari ruang keresahan itulah Srikandi Lintas Iman atau yang sering disebut Srili lahir.  Komunitas ini bergerak pelan-pelan dari akar rumput yang menunjukkan diversitas perempuan mulai dari ibu rumah tangga, akademisi, pengurus rumah ibadah, sampai perempuan muda yang paham pentingnya toleransi. 

Selain itu, mereka juga sekelompok perempuan dari berbagai latar belakang agama yang berbeda yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu, bahkan penghayat kepercayaan. 

Didirikan pada 29 Agustus 2015 setelah workshop lintas iman di Wisma Mawar Asri, Kaliurang-Yogyakarta, gerakan ini dimulai dari pertemuan 32 perempuan dari berbagai organisasi keagamaan di Yogyakarta. Tidak ada yang menduga, pertemuan itu justru melahirkan gerakan sosial yang fokus pada isu perempuan dan perdamaian dengan nilai-nilai toleransi yang kuat. 

 

Nilai-Nilai Perdamaian dalam Srili 

Srili meyakini perempuan sebagai pelaku perdamaian, bukan hanya objek narasi “korban konflik”. Mereka tidak hanya bicara soal perdamaian, mereka merawat damai lewat ruang perjumpaan, dialog, kerjasama komunitas, dan pendekatan nir kekerasan.

Memiliki visi menciptakan komunitas perempuan lintas iman yang aktif dalam dialog dan kerja sama, Srili berupaya agar suara perempuan tidak hanya didengar, tapi juga diberi ruang untuk bertindak nyata.

Sejalan dengan nilai-nilai ajaran agama yang menjunjung tinggi perdamaian, Srili berupaya menanamkan semangat toleransi dalam setiap langkahnya. Upaya ini diwujudkan melalui berbagai kegiatan dialog dan kerja sama lintas institusi. Salah satunya dengan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), di mana Srili bersama Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian (PSPP) menyelenggarakan Dialog dan Buka Puasa Bersama bertema “Relasi Antar Agama di Timur Tengah dan Indonesia”.

Tidak berhenti di sana, Srili juga memperluas ruang dialog melalui program pelatihan pengembangan kapasitas. Bersama PSPP UKDW, Komisi Keadilan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (KKPKC), dan Keuskupan Agung Semarang, Srili mengadakan Pelatihan Resolusi Konflik dan Perdamaian. Dengan melibatkan organisasi perempuan lintas jaringan, Srili  menciptakan  ruang belajar bersama untuk merawat keberagaman sekaligus memperkuat solidaritas perempuan dalam membangun perdamaian.

Mereka percaya bahwa perubahan sosial tidak bisa hanya terjadi dari luar, tetapi harus ditumbuhkan dari dalam komunitas itu sendiri. Inilah yang membuat gerakan mereka terasa sangat membumi dan berdampak, khususnya di tengah masyarakat yang masih berjuang dengan isu intoleransi dan ketimpangan gender. 

 

Srili Merawat Jembatan antar Iman lewat Dialog yang Dijalankan secara Rutin

Dialog ini berupa diskusi lintas iman yang berlangsung dalam dua ruang, baik secara internal maupun eksternal. Di lingkup internal, pertemuan mingguan menjadi ruang belajar bersama, di mana berbagai topik seputar perdamaian dibahas melalui kajian tokoh-tokoh besar seperti Gus Dur, Romo Mangun, Th. Sumartana, Nurcholish Madjid, Lian Gogali dan lainnya. 

Pemikiran tokoh-tokoh tersebut tidak hanya dipelajari, tetapi juga dihidupkan kembali sebagai inspirasi dalam menanamkan nilai-nilai damai di kehidupan sehari-hari 

Srili memanfaatkan media sosial untuk mempererat komunikasi. WhatsApp menjadi ruang obrolan sehari-hari yang mencairkan jarak antar anggota, sekaligus sarana untuk berbagi informasi perdamaian dengan cepat. 

Media digital ini juga dipakai untuk mengklarifikasi kabar intoleransi yang kerap tersebar di dunia maya. Lebih jauh, pendekatan komunikasi mereka terinspirasi dari Nonviolent Communication (Komunikasi Nir Kekerasan) gagasan Marshall Rosenberg yaitu  berinteraksi dengan empati, kasih, dan pemahaman, bukan dengan prasangka atau kemarahan.

Sementara itu, dialog eksternal dilakukan dengan semangat memperluas jejaring Srili. Kegiatan ini kerap digelar di rumah-rumah ibadah seperti gereja, vihara, klenteng, hingga rumah ibadah Sapta Dharma. Dalam perjumpaan itu, Srili membumikan gagasan damai dari para tokoh lintas iman ke dalam praktik nyata. Perbedaan yang ada justru membuka ruang belajar bersama tentang bagaimana hidup berdampingan tanpa harus seragam.

Selain diskusi rutin, Srili juga aktif melakukan ziarah lintas iman ke tempat-tempat suci di Kabupaten Klaten seperti Gua Maria Marganingsih, Makam Sunan Bayat, hingga Sekolah Tinggi Hindu Dharma.  

Dalam Inisiasi Srili, perempuan menjadi subjek utama dalam membangun perdamaian di masyarakat. Lewat pendekatan yang sederhana, mereka menyuarakan bahwa perdamaian itu dimulai dari relasi paling kecil seperti keluarga, tetangga, hingga komunitas sekitar.

 

Perempuan Perdamaian = Perempuan Pembela HAM

Kerja-kerja yang dilakukan Srili sebagai Peace Messenger atau pelaku damai di komunitas maupun dunia maya bukan sekedar aktivisme belaka. Perempuan perdamaian juga termasuk perempuan pembela HAM. Mereka berpihak pada kelompok minoritas, tertindas, dan rentan.

Sayangnya, stigma terhadap perempuan perdamaian, khususnya pada isu-isu lintas agama masih sering muncul, belum lagi tekanan dari lingkungan sekitar yang menganggap isu perdamaian bukanlah prioritas. Namun, karena tantangan itulah, semangat mereka terasa semakin relevan.

Mereka membuktikan bahwa perdamaian bisa hadir lewat ruang-ruang perjumpaan dimana kelompok berbeda saling mengenal dan merawat ruang aman yang inklusif. Mampu mendengar tanpa menghakimi.

Kerja-kerja perdamaian yang Srili lakukan ini menjadi nafas baru dalam upaya merawat keberagaman Indonesia. Mereka tidak menunggu perubahan dari atas, tapi merintisnya dari akar rumput, dari komunitas, dan dari ruang-ruang kecil yang bermakna.

Dari mereka, kita bisa belajar bahwa perdamaian tidak hanya hadir dari ruang-ruang perundingan, kesepakatan politik, atau gencatan senjata, tapi juga perdamaian hadir dari keberanian individu sehari-hari yang mau menjembatani perbedaan dengan hati terbuka.

Nazwa Davega
Nazwa Davega
Nazwa Davega adalah penulis muda yang memiliki minat besar pada isu-isu keamanan non-tradisional seperti kesetaraan gender, perubahan iklim, serta dinamika politik dan kerja sama internasional. Lewat tulisan, Nazwa aktif mengangkat narasi-narasi yang menyoroti peran perempuan, tantangan global, dan pentingnya pendekatan inklusif dalam membangun perdamaian dan keadilan sosial.

Terpopuler
Artikel

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here