Saturday, August 23, 2025

Cerita Ratih Pusparini, Perempuan Indonesia Pertama Sebagai Peacekeeper Dunia

Ratih Pusparini adalah perempuan tangguh kelahiran Jakarta. Ia menjadi salah satu tentara perempuan Indonesia pertama yang diterjunkan sebagai penjaga perdamaian di daerah konflik pada tahun 2008. Perjalanan itu bermula saat Ratih dilantik menjadi Letnan Dua dengan Korps Dinas Khusus di TNI AU pada Mei 1995. 

Setelah itu, ia sering ditugaskan ke luar negeri sebagai Staf Pertahanan Negara. Pada tahun 1997, ia dikirim untuk magang selama satu tahun di Akademi Angkatan Bersenjata Australia di Kota Canberra.

Pada tahun 2003, Kementerian Luar Negeri mengirimkan surat kepada Mabes TNI yang meminta panglima TNI mengirimkan perwira untuk menjadi Military Observer (Kelompok Pengamat Militer), yang berfungsi sebagai mata dan telinga PBB di daerah misi. Dalam surat tersebut, terdapat catatan bahwa akan lebih baik jika anggota perempuan TNI turut disertakan dalam misi. 

Melihat kesempatan itu, Letnan Kolonel (Letkol) Ratih mengajukan diri untuk bergabung. Pada tahun 2007, Marsekal TNI Djoko Suyanto akhirnya memberikan izin bagi anggota perempuan untuk pertama kalinya mengikuti misi PBB. Letkol Ratih pun berangkat pada 17 Januari 2008 sebagai bagian dari kontingen Garuda yang bertugas di Kongo.

Singkat cerita, pada Maret 2012, Ratih kembali diberangkatkan sebagai perwira siaga yang memonitor jalannya operasional United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL) di Lebanon. 

Satu bulan kemudian, tepatnya pada April 2012, ia mendapat perintah dari Mabes TNI untuk bergabung dengan tim pengawas perdamaian di Suriah. Namun, penugasannya di Suriah tidak berlangsung lama. 

Setelah tiga bulan bertugas, misi tersebut diakhiri karena situasinya dianggap terlalu berbahaya bagi keselamatan pasukan perdamaian. Ratih mengaku berkali-kali mendapat serangan tembakan dan pengeboman. Pada September 2012, Ratih kembali ke Lebanon untuk menjalankan tugas barunya sebagai Shift Chief Joint Operation Centre UNIFIL. 

Melalui kontribusi nyata dan reputasi internasional yang dibangunnya di daerah konflik, pada tahun 2013 Ratih terpilih menjadi salah satu penerima Indonesian Women of Change Award yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat. Penghargaan tersebut diberikan bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional ketika ia tengah menjalankan misi di Lebanon.

Selain itu, Ratih juga menerima sejumlah tanda kehormatan internasional, antara lain The United Nations (UN) Medal, UN Medal Syria dan UN Peacekeeping Medal in Lebanon atas dedikasinya dalam misi perdamaian

Pada akhir Februari 2017, Ratih bersama Kristin Lund, Mayor Jenderal asal Norwegia yang juga Komandan Misi Perdamaian PBB, mendapat kesempatan untuk berbicara dalam forum United Nations Special Committee for Peacekeeping Operations di New York. 

Dalam forum tersebut, Ratih menekankan pentingnya pelibatan lebih banyak perempuan dalam misi perdamaian PBB serta perlindungan perempuan dari kekerasan seksual sebagai senjata perang.

Sosok seperti Ratih menunjukkan bahwa perempuan Indonesia mampu mengambil peran penting dalam misi perdamaian dunia. Meskipun sempat diremehkan oleh rekan-rekan laki-lakinya, ia membuktikan bahwa perempuan juga dapat melaksanakan tugas berat di medan konflik yang keras sekalipun. 

Ratih menyampaikan bahwa kesempatan bagi perempuan untuk terlibat dalam misi perdamaian sebenarnya terbuka lebar, asalkan mereka memiliki kondisi fisik dan mental yang kuat serta kemampuan berbahasa asing yang baik. Kesempatan ini tidak hanya untuk personel militer dan polisi, tetapi juga terbuka bagi warga sipil yang ingin terlibat dalam upaya menjaga perdamaian dunia. 

“Sebagai perempuan, kami memiliki akses untuk memasuki wilayah yang tidak bisa dimasuki militer laki-laki. Misalnya di Kongo, kami duduk lesehan di tanah bersama masyarakat lokal, ibu-ibu, dan anak-anak, lalu ngobrol. Dari situlah mereka akhirnya bercerita bagaimana desa mereka diserang secara brutal oleh para pemberontak, terjadi pemerkosaan, perampokan, penculikan, dan pembunuhan. Di Kongo, Suriah, dan Lebanon, pengalaman seperti itu yang saya rasakan. Ketika anggota militer laki-laki mendekat, mereka tidak sepenuhnya terbuka, bahkan sering kali menjauh karena takut,” ujar Letkol Ratih.

Hal ini membuktikan bahwa pendekatan perempuan di daerah konflik jauh lebih bisa diterima oleh masyarakat lokal, utamanya sesama perempuan. Dampak perang yang khas dialami perempuan seperti kekerasan seksual, tentu akan lebih nyaman jika menyampaikannya dengan sesama perempuan. 

Kehadiran perempuan dalam misi perdamaian sangat penting, terutama dalam menjangkau perempuan dan anak-anak melalui community engagement dalam bentuk Civil-Military Cooperation (CIMIC). Pendekatan ini biasanya dilakukan melalui bantuan kemanusiaan, seperti mengajar, memberikan layanan kesehatan, serta memfasilitasi gencatan senjata dan proses perdamaian di daerah konflik. 

Kini, Ratih menjadi figur inspiratif sebagai aktor perdamaian. Kiprahnya menunjukkan bahwa perempuan bukan hanya bagian dari perubahan, tetapi juga penggerak utama dalam upaya perdamaian. Ratih memberikan perspektif baru bahwa pendekatan perdamaian paling ampuh adalah pendekatan empati—mendengarkan suara perempuan, mengedepankan dialog, dan menempatkan kemanusiaan di atas kepentingan kelompok semata.

Ayu Kristina
Ayu Kristina
Aku alumni Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM yang tertarik pada isu-isu perdamaian, gender, dialog antaragama, lingkungan, agama lokal dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Terpopuler
Artikel

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here