Saturday, August 23, 2025

Kisah Mama Yos dan Perempuan Enggros Menjaga Hutan Perempuan dan Tradisi Tonotwiyat di Papua

Sudah turun-temurun, Mama Yos dan para perempuan Enggros Papua mencari sumber penghidupan di hutan bakau seperti bia (kerang), udang, kepiting, dan ikan. Hutan bakau itu disebut hutan perempuan karena hanya didatangi oleh para perempuan. 

Berdasarkan artikel di laman econusa.id, ada ratusan jenis bia yang hidup di Enggros. Para perempuan turut menjaga hutan bakau sekaligus keragaman flora dan fauna yang ada di sana. 

Selain kekayaan alam yang berlimpah, mereka memiliki tradisi bernama Tonotwiyat dimana para perempuan mencari bahan pangan di hutan bakau sambil bercengkrama. Seperti halnya tradisi Sasi di Papua, Tonotwiyat juga hanya memanfaatkan kekayaan alam seperlunya.

“Tonot artinya hutan. Wiyat itu artinya mengajak pergi ke hutan bersama perempuan untuk mencari bia (kerang). Ini sudah ada sebelum ajaran Kristen masuk ke kampung”, ucap Mama Yos. 

Di Enggros, ada pembagian wilayah pencarian bahan pangan. Perempuan mencari bahan pangan di hutan bakau, sementara laki-laki di laut. Menariknya, hutan bakau di sana disebut juga hutan perempuan karena hanya perempuan saja yang diperbolehkan masuk ke wilayah tersebut.

Ketika mencari bia, lebih mudah bagi perempuan Enggros menanggalkan bajunya. “Kalau tanpa busana, kami jadi mudah bergerak. Kalau tidak kami kasih lepas pakaian, nanti badan rasanya gatal”, ujar Mama Yos. 

Selain itu, para perempuan juga biasanya berbicara dengan suara lantang di hutan bakau untuk memberi tanda bahwa mereka sedang ada di sana. Tidak hanya sebagai tempat mata pencaharian, hutan bakau juga merupakan para-para (tempat berkumpul) sekaligus tempat curhat kisah masa lalu, persoalan rumah tangga, dan keseharian yang dilalui perempuan Enggros. 

Hutan perempuan menjadi ruang aman para perempuan saling jujur, bercerita, dan saling mendukung. Bercerita bisa sedikit melegakan dan tidak merasa sendiri dalam menghadapi kehidupan.

Bukan sebatas tradisi, Tonotwiyat baik untuk kesehatan mental perempuan. Bercerita merupakan media healing karena dapat membantu meningkatkan perasaan bahagia dan produktivitas, serta merawat kewarasan (Philip, Selvakumar, Joseph, 2025).

Dengan bercerita, beban perlahan diangkat dan melebur bersama aliran air di sekitar pohon bakau. Bercerita berarti menyadari dan mengakui segala bentuk perasaan dalam diri. Kadang merasa lemah, kuat, belajar membuka diri, terbuka dengan masukan, dan menjadi langkah awal mengizinkan orang lain menolong jika membutuhkan.

Berawal dari bercerita, kepedulian antar sesama perempuan terbangun. Lebih dari itu, kepedulian kepada alam sekitar juga menjelma. Para perempuan Enggros selain mencari bia secukupnya, juga tidak memotong sembarang kayu dan hanya memungut ranting yang sudah jatuh. 

Ada aturan tidak tertulis lain yang dilakukan yaitu mereka tidak boleh membawa ember atau wadah untuk menampung tangkapan agar dapat mempertahankan populasi dan ekosistem hutan bakau, serta menghindari eksploitasi besar-besaran. 

Mama Yos dan perempuan Enggros lainnya selalu bersyukur berapapun hasil tangkapan mereka, banyak maupun sedikit. Selain itu, ketika berada di hutan perempuan pun tidak boleh berbicara kasar dan kotor.

 

Pencemaran Lingkungan, Ancaman Hutan Perempuan

Mereka juga sangat memperhatikan lingkungan. Hanya bekal berupa air yang mereka bawa karena khawatir menambah dan menumpuk sampah. Meski sudah dijaga, masih ada beberapa sampah yang ditemukan, seperti botol plastik, tas, sepatu, dan kursi yang menyangkut di pohon bakau. Entah itu sampah-sampah yang berasal dari mana. 

“Sampah-sampah ini hanyut dari kota, lalu merusak hutan. Kami jadi susah cari biar dan banyak nyamuk!” keluh Mama Yos.

Pembangunan di Kawasan Teluk Youtefa yang masif membuat pencemaran di Kawasan Hutan Perempuan meningkat. Sampah yang ada membuat habitat bia, ikan, udang, dan kepiting tercemar dan terancam. Jumlah bia yang didapat untuk dikonsumsi sehari-hari pun berkurang karena mereka tertutup oleh sampah. 

Selain itu, kesehatan para perempuan dan keluarganya juga bisa terganggu jika mengonsumsi makanan yang tercemar sampah. Sehingga, tradisi Tonotwiyat penting dan lestari hingga anak cucu agar mereka bisa memahami keadaan hutan bakau secara nyata, terkoneksi dan mencintai alam, serta mewariskan hal-hal baik kepada orang lain. 

Sayangnya, pembangunan justru mengancam kelestarian hutan perempuan, tradisi Tonotwiyat dari para leluhur, dan keberlanjutan sumber daya alam sebagai penghidupan anak cucu kelak. Padahal, jika hutan perempuan tetap asri akan mampu menahan abrasi dan bencana  alam. 

Belum lagi soal akses air bersih di Kampung Enggros ternyata sulit dan tidak lancar, sehingga para perempuan harus mencari air dan membayar dari luar kampung. Hal ini tentu menyulitkan perempuan ketika mengalami menstruasi tiap bulan untuk menjaga kebersihan alat reproduksi, lingkungan sekitar, dan kebutuhan lainnya.

Perempuan yang sedang menstruasi juga tidak boleh berendam di hutan bakau karena ada anggapan “sedang kotor”. Sebenarnya, darah itu tidak keluar saat kita berada di air, dan baru keluar setelah di daratan. Sebelum ada pembalut masuk dan diperkenalkan di Enggros, mereka membuat sendiri penampung darah menstruasi berupa pembalut dari karung tepung yang berbahan kain.

Betapa kompleks dan saling terhubungnya antara perempuan, lingkungan, dan tradisi lokal.  Maka mengapa penting perempuan terlibat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di wilayah mereka. Keterlibatan perempuan bukan hanya soal keadilan gender, tetapi juga memastikan bahwa pengetahuan lokal, pengalaman hidup, dan kebutuhan spesifik mereka menjadi bagian dari pengambilan keputusan.

Jika perempuan diabaikan dalam pengelolaan lingkungan, maka banyak pengetahuan dan praktik berharga yang bisa hilang. Sebaliknya, ketika mereka diberi ruang dan dukungan, pengelolaan lingkungan menjadi lebih holistik—mempertimbangkan ekologi, sosial, budaya, sekaligus kesehatan masyarakat. Keterlibatan ini akan membangun keberlanjutan yang berpihak pada manusia dan alam, sekaligus memperkuat identitas dan martabat komunitas.

Lena Susanti
Lena Susanti
Lena Sutanti merupakan konten kreator dan digital storyteller yang belajar tentang manusia dan budayanya di Antropologi. Dari 2019 sampai sekarang bikin ilustrasi, tulisan, komik, dan video tentang keberagaman gender dan seksualitas, kebebasan beragama dan berkeyakinan, budaya dan lingkungan. Lena hobi traveling, eksplorasi fesyen, dan kuliner lokal. Karya-karyanya bisa ditengok di Instagram @lenasutanti.

Terpopuler
Artikel

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here