“Suara dan pengalaman perempuan sangat berharga, sehingga negara dan masyarakat perlu mendengarkannya.”
-Veronika Yuniar Meliana-
Aku anak perempuan paling kecil dari keluarga yang sudah terbiasa hidup dalam perbedaan. Ibuku seorang perempuan berdarah Madura yang dikenal berwatak keras dan berbahasa keseharian yang kasar serta penuh makian. Sedangkan ayahku berasal dari keluarga Jawa Tengah dengan silsilah keluarga bangsawan Jawa kuno yang dikenal berwatak lemah lembut dan bijaksana. Dua kepribadian yang sangat bertolak belakang tersebut seringkali menyebabkan pertengkaran; akhirnya ayahku selalu memilih untuk mengalah demi kebaikan. Aku pun kerap kali bersitegang dengan ibu karena perbedaan cara pandang yang tidak jarang menyebabkan aku mengalami kekerasan. Mulai dari makian kasar, pukulan benda, tamparan, dan pukulan pernah mendarat di tubuhku. Namun ayah selalu rela menggantikan posisiku untuk menjadi sasaran kemarahan ibu.
Secara tidak langsung inilah yang membentukku menjadi sosok perempuan pemberontak dan selalu mencari keadilan serta bersuara menghentikan kekerasan terhadap perempuan. Sehingga aku tidak akan membiarkan ketidakadilan dan kekerasan menjadi hal biasa dalam masyarakat dimana anak menjadi hak mutlak orang tua mau diapakan atau dibentuk seperti apa. Seorang anak memiliki hak bersuara dan mendapatkan perlindungan.
Ketidakadilan tak hanya kurasakan semasa anak-anak. Ketika remaja dan mulai tertarik kepada lawan jenis, aku sempat dekat dengan seorang pria. Saat kami mulai lebih serius, aku diminta tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dari dirinya dengan alasan dia berjanji akan memenuhi segala kebutuhanku dan anak-anakku kelak. Namun kenyataannya semua itu omong kosong belaka. Setelah menikah, hingga hari ini aku yang harus menanggung kebutuhan dan nasib masa depan ketiga anak kami.
Perceraian sempat terlintas di pikiranku. Akan tetapi, ada beberapa hal mengapa kami tidak bisa bercerai karena aturan agama Katolik yang kami anut. Dan sebagai seorang ibu, aku harus berpikir ulang untuk kondisi psikologis anak-anakku. Pengalaman sebagai seorang penyintas kekerasan berbasis gender inilah yang mendorongku terjun langsung membantu para perempuan dan anak-anak untuk mendapatkan perlindungan dan berani speak up atas kondisi yang mereka alami.
Saya paham betul bahwa perempuan seringkali mengalami kekerasan akibat apapun yang dilakukannya. Baik mengekspresikan diri melalui karya dan hobi, menjadi profesional di bidangnya, mengemban pendidikan tinggi, mengenakan pakaian yang disukainya, hingga merias wajahnya, seringkali perempuan disindir, dihujat, dan dihakimi. Perempuan yang memilih berkegiatan di luar rumah dan berpendidikan tinggi juga kerap dihakimi. Seperti ujaran “nanti keluarganya tidak ada yang mengurus, nanti tidak ada laki-laki yang mau, atau untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya mengurus rumah tangga.”
Selain itu banyak sekali pelabelan dan pembatasan yang diberikan kepada perempuan, bahkan saya sendiri mengalaminya. Salah satunya adalah pernyataan bahwa perempuan tidak aman bekerja sampai malam, jadi tidak usah bekerja saja. Masyarakat umumnya masih merasa bahwa pelabelan, diskriminasi, dan perundungan tersebut wajar diberikan kepada perempuan. Di dalam keluarga pun suara perempuan tidak dipertimbangkan dan ia menjadi milik ayah atau suaminya.
(bersambung)
*
Kisah Veronika selengkapnya beserta perempuan perdamaian lainnya didokumentasikan oleh AMAN Indonesia bersama She Builds Peace Indonesia dalam buku She Builds Peace Seri 1: Kisah-Kisah Perempuan Penyelamat Nusantara.
Banyak pembelajaran tentang agensi perempuan yang bisa ditemukan dengan membaca semua cerita di buku ini. Untuk mendapatkannya, bisa dipesan melalui link berikut bit.ly/pesanbukuSBPseri1.