Monday, November 25, 2024
spot_img
HomeOpiniBegini Cara al-Fatih Membangun Perdamaian Pasca Penaklukan Konstantinopel

Begini Cara al-Fatih Membangun Perdamaian Pasca Penaklukan Konstantinopel

Mengkaji mengenai peperangan dengan narasi damai mungkin sesuatu yang klise. Karena pada dasarnya, tidak ada peperangan yang dilakukan dengan damai. (Muhammad Rizal 2016) Peperangan selalu melibatkan kontak fisik dan berakhir dengan kemenangan atau kekalahan dengan mengorbankan nyawa dan harta benda. Pandangan mengenai perang yang dilakukan selama masa penyebaran agama Islam acapkali dipandang sebagi sesuatu yang tidak manusiawi karena dipandang dalam konteks masa kini. (Widhiyoga 2013) Maka tak heran jika karangan orientalis meyebut Islam sebagai agama yang haus darah. (Imam Mustofa 2011)

Padahal perang dimasa penyebaran agama Islam adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. (Anton Minardi 2013) Peradaban Islam lahir di tengah peradaban Romawi dan Persia yang terbiasa dengan perang. (Mubarok 2020) Hanya dua pilihan yang bisa dilakukan oleh Islam yaitu memilih untuk memerangi dan menyebarkan dakwah Islam, ataukah diserang dan mengikuti system yang dibangun oleh penjajah.  Meskipun diperbolehkan untuk diperangi, namun Islam juga mengatur etika sebelum berperang. 

Ada pula golongan yang masuk dalam salah satu kategori dari 3 kategori diatas, namun tetap harus memegang teguh etika dakwah. Salah satunya adalah mengutamakan perdamaian, kesejahteraan, penjagaan atas nyawa, dan melindungi hak dakwah (A.Hasjmy 1998). Salah satu bukti bahwa Islam mengutamakan perdamaian diatas peperangan adalah adanya aturan mengenai larangan memerangi orang kafir yang belum sampai kepadanya dakwah Islam. Perang baru diperbolehkan jika musuh Islam mengancam kebebasan untuk mendakwahkan Islam dan menolak ajakan dakwah dengan mengangkat pedang. 

Aturan-aturan mengenai perang tersebut diterapkan oleh Muhammad al Fatih saat terjadi perluasan wilayah di Konstantinopel. Lantas seperti apa nilai perdamaian yang diterapkan oleh al-Fatih pada peristiwa di Konstantinopel? Simak penjelasan berikut ini:

Mengirim Surat Ajakan Damai ke Kaisar Romawi

Konstantinopel menjadi salah satu kota yang diidamkan dan menjadi target penakhlukan. (Ali Muhammad As-Shalabi 2003) Hal ini berangkat dari motivasi sebagaimana disampaikan dalam hadits Nabi Muhammad SAW:

“Sungguh Konstantinopel itu akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin (penakhluk) nya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan (penakhluk) nya. (Hr. al-Hakim)

Nabi Muhammad menerima banyak wahyu yang berkaitan dengan perang. (Shohil Adib 2017) Salah satu aturannya berkaitan dengan larangan penggunaan senjata kecuali dalam kondisi darurat seperti membalas serangan, membela kebenaran. Hanya diperbolehkan untuk melawan pihak yang menghalangi dakwah Islam maupun musuh yang ingkar janji. (Hakiki et al. 2019) .

Ali Wahbah memetakan 3 golongan manusia yang diperbolehkan untuk diperangi. Pertama; orang musyrik yang memerangi Islam, kedua; pihak yang membatalkan perjanjian yang telah disepakati, ketiga; musuh Islam yang mengadakan persekutuan untuk menghancurkan Islam. (Taufiq Ali Wahbah 1985)

Selain itu, Islam juga mengatur tentang ketidakbolehkan membunuh perempuan, anak-anak, orang sakit, rahib, hewan ternak, menghanjurkan pertanian, waduh, irigasi, rumah-rumah dan sumber mata air. Bagi pasukan yang telah terluka dan melarikan diri juga tidak boleh disakiti.(Yusuf Qaradhawi, n.d.). Maka tidak benar pendapat Kareen Amstrong (Armstrong 1995) yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang menghalalkan umatnya untuk melakukan kekerasan atas nama dakwah Islam.

Berpedoman pada aturan perang tersebut maka sebelum memulai penaklukan, al-Fatih mengadakan perjanjian damai terlebih dahulu. Perjanjian damai tersebut dilakukan terhadap negara-negara tetangga yang dianggap dapat membantu Konstantinopel agar pengepungan dapat berjalan sesuai rencana. Diantaranya dengan negara Galata disebelah Timur, negara Majd dan Venesia, dua negara yang berbatasan dengan negara-negara Eropa. (Ali Muhammad As-Shalabi 2003)

Selain itu, al-Fatih juga mengirim utusan kepada Kaisar Byzantium agar tunduk di bawah kekuasaan Islam secara damai (Muhammad Said Mursi 2008).  Utusan tersebut meminta Kaisar untuk menyerahkan onstantinopel dengan damai. Al-Fatih berjanji menyelamatkan setiap penduduk, tidak ada seorangpun yang akan diganggu, dan tidak ada harta benda yang akan diambil. Dan siapapun yang hendak pergi keluar kota, tidak akan dihalangi. Hal ini lebih baik dibanding harus berperang, melihat kondisi Konstantinopel yang saat itu juga sedang rapuh.

Hingga pada akhirnya Kaisar Konstantine lebih memilih untuk mempertahankan kota itu dari pada menyerahkan kota tersebut kepada pasukan Islam, sehingga pasukan al-Fatih melakukan serangan. Dari sikap al-Fatih ini menunjukkan bahwa meskipun pada akhirnya menempuh jalan perang. Namun, al-Fatih sudah menerapkan sikap lapang dada dengan mengirimkan surat permohonan damai. Serta meminta pihak Konstantinopel untuk menyerahkan kekuasaannya. Karena konflik internal antara Kristen Ortodok di Konstantinopel dan Paus di Roma tidak menguntungkan pihak Konstantinopel untuk melakukan perlawanan.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments