Saturday, November 30, 2024
spot_img
HomeCeritaHidup Di Tengah Masyarakat Madura, Tidak Mudah

Hidup Di Tengah Masyarakat Madura, Tidak Mudah

Persoalan belum menikah di usia yang dibilang sudah cukup dewasa nampaknya masih menjadi persoalan di beberapa wilayah di Indonesia. Salah satunya di Madura. Ada beberapa “Nikah Muda” di Madura. Pernikahan dilakukan bahkan dari usia belum mencapai baligh hingga usia 20 tahun. Konon, pernikahan nabi Muhammad dengan Aisyah menjadi patokan bagi pemuka agama di Madura. 

Untuk anak yang belum mencapai usia baligh, penikahan yang dilakukan sebagai bentuk ikatan dua keluarga saja. Sementara akad baru laksanakan saat pasangan meranjak usia baligh dan sanggup mencari uang.  Salah satu penggerak Penggerak Sekolah Perempuan Bintang 9 Sampang, Aminatur Rizqiyah, ibunya menjadi pelaku tradisi hal tersebut. Namun, untungnya Ayahnya memperlakukan ibunya adengan baik. Tidak ada kekerasan fisik atau psikis yang terjadi pada ibunya. 

Bahkan, sejak kecil dirinya tidak pernah mendapatkan perlakukan yang berbeda dengan saudara laki-lakinya. Dirinya merasa tidak ada kendala sebagai perempuan. Almarhum Abahnya tidak membedakan anak laki-laki dan perempuan. Di keluarganya, anak perempuan sangat ditunggu-tunggu. Pada tahun 2016 lalu, dirinya resmi mendaptkan gelar setrata 2 di UIN Malang. 

Hal itu pun menjadi kebanggaan bagi keluarganya, karena hanya dirinya yang bisa mencapai hal tersebut di kampungnya. Dirinya bersyukur dibesarkan di keluarga yang sudah menerapkan kesetaraan di rumahnya. Menurutnya, hal tersebut menjadi modal utama di dalam keluarga. Dirinya bersama dengan keluarga lainnya terbiasa membagi pekerjaan rumah. Adik laki-lakinya yang sudah menikah, terbiasa membantu pekerjaan istrinya. Dirinya turut bangga atas apa yang dilakukan oleh adiknya. 

”Tapi ada juga adik saya yang menganggap pekerjaan domestik adalah pekerjaan perempuan,” ucapnya sambil menceritakan kehidupannya. 

Diakui olehnya, di masyarakat pekerjaan dapur dianggap sebagai pekerjaan perempuan. Tidak jarang, saat dirinya berkumpul dengan teman-temannya, membuat kopi seperti dijadikan pekerjaan wajib yang harus dilakukan oleh perempuan. Namun, dirinya sering menolak pekerjaan dengan halus. Sebab, laki-laki pun bisa melaksanakan sendiri. 

Belum Menikah Sering Mendapatkan ‘Cibiran’ di Masyarakat

Hidup bermasyarakat memang tidak mudah. Ada beberapa ibu-ibu yang merasa kasian jika laki-laki harus melaksanakan pekerjaan rumah tangga. Kita harus menerima opini tersebut. Walaupun begitu, pernikahan masih menjadi sorotan utama di Madura. Dalam wawancara yang dilakukan She Builds Peace, dirinya perempuan yang sering disapa Riz ini masih sering mendapatkan ‘cibiran’ di daerahnya. 

Suatu hari, dirinya sempat dilarang untuk keluar rumah oleh Umminya – panggilan ibunya. Dirinya berpikir, karena dirinya mendapatkan ‘cibiran’ di masyarakat. Bukan hanya dirinya yang mendapatkan cibirian, tapi sepupunya juga sempat mendapatkan ‘cibiran’ di masyarakat karena telat menikah. Walaupun begitu, dirinya tetap menikmati kehidupannya saat ini. ada beberapa kegiatan positif yang dilakukan di rumah, seperti santunan anak yatim dan lainnya. Hal itu menjadi bukti kepada keluarganya. 

Selain pernikahan, beberapa hal yang sering dikritik perihal makeup. Merias diri dan mempercantik diri, sering dibicarakan di masyarakat. Seperti makeup yang agak menor atau seperti artis, hal tersebut menjadi pembicaraan. Padahal, bagi beberapa orang yang besar di perantauan, merias diri adalah pekerjaan biasa dan lumrah. 

Sisipkan Isu Kesetaraan pada Modul Pendamping PKH 

Namun, sejak 2014 lalu, kehidupannya sedikit berubah. Saat itu, dirinya bekerja menjadi Pendamping Keluarga Harapan (PKH). Dirinya dipercaya di masyarakat karena dapat membantu perekonomian. Pencairan PKH, dilakukan tiga bulan sekali. Ada beberapa komponen yang untuk masyarakat mendapatkan bantuan tersebut. Mulai dari jumlah anak, ada atau tidaknya lansia dan lainnya. Akan tetapi, hal tersebut tergantung kebijaksanaan di desa. Terkadang saat pemilihan kepada desa, beberapa calon kepada desa menjadi bantuan sebagai alat agar dirinya terpilih. Sehingga, aturan menjadi mendapatkan PHK seringnya berdasarkan kebijakan desa. 

Padahal dalam aturan PHK, terangnya, ada beberapa komponen agar seseorang mendapatkan bantuan PHK. Di antaranya, adanya balita, adanya lansia dan lainnya. Masyarakat yang mendapatkan bantuan PHK, biasanya mendapatkan beberapa modul. Seperti modul mendampingi orang sakit, mengelola keuangan dan lainnya. 

”Tapi, saya sering sisipkan juga modul Sekolah Perempuan kepada ibu-ibu penerima bantuan PHK. Sepertu cara untuk memperjuangkan hak-hak mereka,” terangnya. 

Suatu hari terdapat kejadian, di mana ATM penerima bantuan PKH harus dikumpullkan di desa. Tentunya, ada beberapa yang menolak. Dirinya mencoba memberitahukan, jika ATM penerima bantuan PKH harus dipegang oleh para penerimanya. Hal tersebut, malah berdampak pada dirinya. Dirinya dianggap sebagai provokator. 

”Tapi, sekarang ATM dikumpulkan di desa, karena masyarakat takut nggak dapet bantuan lagi,” ucapnya. Rasanya ada kesedihan dari wajahnya dan suaranya saat menceritakan hal tersebut. 

Dia menceritakan, jika ada yang melanggar hal tersebut, masyarakat yang mendapatkan bantuan dicoret sebagai penerima bantuan. Biasanya, kepala dusun yang mengambil ATM penerima bantuan. 

Mengajarkan Modul Sekolah Perempuan kepada Penerima Bantuan PKH

Dari sejumlah perjalanan yang sudah terjadi sebagai pendamping sosial, saat kegiatan di AMAN Indonesia, dirinya tertarik mendengarkan cerita Ibu Rohimah. Perubahan Ibu Rohimah, yang semula menjadi buruh cuci, saat ini seringkali diundang kemana-kemana. Sejak saat itu, dirinya bertekad untuk membawanya kepada dampingan penerima PKH. Dirinya melihat masyarakat yang menerima bantuan PKH sebagai potensi yang sangat besar untuk mengubah pola pemikiran masyarakat yang lebih baik. 

Terdapat beberapa fakta sosial yang terjadi di masyarakat Madura. Sehingga, kesetaraan menjadi hal utama yang diajarkan kepada masyarakat. Fakta sosial di Madura, ungkapnya, nelayan perempuan tidak dianggap sebagai nelayan, lalu perempuan sebagai sumber fitnah serta para laki-laki yang tidak melakukan pekerjaan dapur. 

Dirinya mulai mengajarkan modul Sekolah Perempuan AMAN Indonesia kepada masyarakat penerima PHK. Salah satunya mengajarkan sungai kehidupan kepada masyarakat. Dia menjelaskan, ada beberapa hal yang dirinya ubah saat mengajarkan modul Sekolah Perempuan kepada masyarakat. Seperti tidak menggunakan kata gender atau mengubah kata vaksin menjadi imunisasi. 

Hal yang paling menarik yang dilakukan oleh dirinya adalah syarat belajar kepada penerima bantuan. Itu membuat para penerima bantuan, harus tetap sekolah. Rata-rata, hanya bersekolah hingga SD para penerima bantuan PHK. Selain sekolah, dirinya sering memberikan beberapa pakaian dari AMAN Indonesia kepada masyarakat. Serta kerudung untuk diberikan kepada ibu-ibu. Hal ini dilakukan agar masyarakat tetap mau belajar. 

materi perdamaian menjadi materi yang paling menarik untuk diberikan kepada masyaraka. Salah satunya dengan contoh orang Arab dan China. 

”Saya ngasihnya contoh, Kalau kalian suka orang Arab ke kanan, kalau suka orang China ke kiri. Tapi kemudian disusul dengan pertanyaan lain, kalo kalian belanja, kalian kemana? ternyata ada yang China, ada yang Arab,” pungkasnya. 

Nita Nurdiani
Nita Nurdiani
Ia sering menggunakan nama pena Nurdiani Latifah. Sejak 2019, bergabung bersama AMAN Indonesia dan menjadi staf media yang mengelola media sosial WGWC dan Knowledge-Hub WGWC. Sebelumnya, menjadi jurnalis di Bandung selama 3 tahun. Tulisannya pernah diterbitkan dalam antologi Perempuan Mengakarkan Perdamaian (AMAN Indonesia, 2022) dan Melangkahi Luka: 12 Kisah Perjalanan Menuju Damai (Jakatarub, 2014). Tulisannya juga dapat ditemukan di media keislaman online seperti islami.co, mubadalah.id, bincangmuslimah.com dan iqra.id. Penulis dapat dihubungi melalui instagram @nl_nurdiani
RELATED ARTICLES

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments