Ada kalimat-kalimat yang saya ingat hingga hari ini. “Sekalipun remuk tubuhku dan hancur mukaku, Juru selamatku tetap mengenaliku” “Tak sedetik pun Dia meninggalkanku”. “Hidup dan matiku hanya untuk Dia yang telah memberi aku hidup, hidup dan hidup yang kekal bersama Nya”.
Pernyataan Kresnawan Buddhanto, suami Sri Wahyaningsih itu sempat dituliskannya berlembar-lembar untuk menjadi buku. Tindakan itu bak firasat sebelum kepulangan mendadaknya, terbunuh orang tak dikenal sepulang mengajar. Tindak kekerasan yang dialami mendiang suami Wahya bak ancaman serius di tengah isu yang keduanya hadapi sebagai pegiat isu kemanusiaan.
Permasalahan kompleks di pelosok daerah Sumatera itu tak hanya pelanggaran hak rakyat dengan perampasan sawah tanpa ganti rugi untuk jalan menuju rumah pejabat. Namun, sejumlah kasus kekerasan seksual di pelbagai tempat, baik di jalan maupun di atas kendaraan umum, membuat masyarakat merasa tak aman. Bahkan ketika kasus pembunuhan yang dialami suami Wahya hendak diungkap lebih lanjut, penyelidikan tetiba dihentikan begitu saja, tanpa ada alasan yang jelas.
Wahya yang terpukul dan sangat berduka terpaksa pulang ke Jawa karena nyawanya pun ikut terancam. Situasi tahun 80-an itu, katanya, sangat berbeda dengan saat ini. Nyawa para pembela kebenaran dan isu kemanusiaan bak bergantung di ujung kuku, jika terang-terangan mengangkat kasus ketidak adilan.
Peristiwa berpulangnya suami, tak membuat Wahya terlarut dalam kesedihan lebih lama. Dia tak merasa jera, justru terpacu untuk melakukan banyak hal, terutama mendedikasikan diri lebih total lagi untuk tugas-tugas kemanusiaan dan isu sosial. Lalu, Wahya kembali ke Code mendampingi Romo Mangun melayani masyarakat pinggiran dan pelayanan ke beberapa daerah kumuh. Mulai dari daerah Badran, Kricak dan ke desa desa di Gunung Kidul dan Kulon Progo bersama dengan LPPM Universitas Kristen Duta Wacana.
Dengan kerja-kerja kemanusiaan, seorang Wahya merasa hidupnya menjadi berarti. Apalagi mendiang suaminya sering menulis kalimat-kalimat penyemangat, jauh sebelum beliau berpulang. Kalimat kalimat itu sempat disusun menjadi buku, diketik rangkap tiga, dan memiliki beberapa lembar berisi penguatan-penguatan dan perihal bagaimana hidup menjadi bermakna bagi banyak orang. Buku-buku tersebut diberikan kepada dua sahabatnya dan ibu mendiang suaminya. Satu buku dibuat khusus untuk Wahya, akan tetapi dia tidak kuasa membacanya, kemudian diserahkan kepada sahabatnya.
“Saya sangat bersyukur. Sekalipun dalam waktu singkat hanya tujuh bulan menjadi istri almarhum, tetapi saya mempunyai pengalaman hidup rohani yang sangat luar biasa. Sejujurnya hal itulah yang saya jadikan bekal hidup hingga hari ini,” tutur Wahya mengenang mendiang suami.
Code, Romo Mangun dan Pendidikan
Sejak pertemuan dengan Romo Mangun di tahun 1983 di Code, lalu tahun 1984 Wahya berangkat ke Sumatera bersama suami dan setahun sesudahnya kembali ke Yogya, bergabung lagi dengan Romo Mangun melanjutkan tugas pelayanan di Code. Sejak itu dirinya menjadi makin intensif mendampingi masyarakat dengan beberapa aktivis lain, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagian besar rata-rata masih mahasiswa, bertugas silih berganti.
“Sebetulnya kami tidak berpikir apakah ini harus aktivis laki atau perempuan, tetapi sikap dan perilaku yang jujur, lebih telaten dan tekun memang teman-teman perempuan yang miliki. Selain itu juga lebih luwes karena mampu membuka ruang dialog baik dengan orang dewasa maupun anak-anak,” katanya.
Wahya bercerita seorang aktivis bahkan intens sekali dan memilih tinggal bersama masyarakat Code. Mbak Dwi lulusan dari Akademi Kesejahteraan Keluarga Tarakanita Yogyakarta aktif mengajak masyarakat belajar memasak, membuat penganan untuk dijual dan dititipkan di warung- warung, Mbak Dwi juga aktif mendampingi para remaja laki dan perempuan di Code.
Ketika tim kerja sudah mulai terbentuk, mereka mulai membentuk usaha bersama simpan pinjam untuk pasangan suami istri. Masing-masing kelompok ada kurang lebih sepuluh pasutri. Karena warga Code ada 33 KK, dibagi ke dalam tiga kelompok, yang masing-masing kelompok memiliki penanggung jawabnya. Wahya, Mbak Dwi dan Mbak Wiwik (Kepala LPPM AKK Tarakanita Yogyakarta).
Wahya menambahkan lagi. Pendampingan di Code membagi tugas untuk pelayanan menjadi tiga bagian: Bina manusia, Bina Lingkungan dan Bina Sosial. Pembagian tugas Bina Manusia, diserahkan kepada Universitas Kristen Duta Wacana dengan Wahya yang mendapat mandat menjadi penanggung jawab. Bina Lingkungan langsung di bawah Romo Mangun dengan Lurah Terban waktu itu, mendiang Pak Willy yang menjadi penanggung jawabnya. Sementara, Bina Sosial penanggung jawabnya AKK Tarakanita dibawah pimpinan Ibu Nunuk (direktur AKK), dan yang bertugas di lapangan Mbak Dwi dan Mbak Wiwik.
Tim yang dibentuk Wahya dan teman aktivis lain terus menerus berupaya untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat Code, sementara Romo Mangun bertanggung jawab di garis depan dalam hal berkomunikasi dengan pemerintah melalui pembangunan pemukiman yang asri dan artistik. Karya Romo Mangun untuk pemukiman Code ini bahkan mendapat penghargaan Aga Khan Award.
Dari sisi ekonomi, para pendamping berupaya meningkatkan kesejahteraan dan juga ketertiban dalam hidup bermasyarakat. Tujuannya, pemerintah tidak akan mempunyai alasan lagi untuk menggusur mereka karena dianggap kaum yang meresahkan, atau selalu membuat rusuh. Perlahan-lahan komunikasi dengan pemerintah mulai bisa dilakukan dengan membuktikan Code bisa menjadi pemukiman yang aman, tertib dan peduli lingkungan.
“Salah satu hal yang mungkin mendorong upaya itu, mungkin karena kami selalu melakukan refleksi atas apa yang dilakukan. Banyaknya gelandangan yang berasal dari desa, adalah karena mereka gagal transmigrasi. Modal pengetahuan mereka sendiri sangat minim. Apalagi nasib anak-anak yang dilahirkan dalam kondisi kemiskinan tersebut. Semua kondisi demikian membuat tim kerja berpikir, apa yang bisa menjadi solusi, supaya arus urbanisasi dan transmigrasi dengan modal nekad ini dapat dibendung terutama ekses lanjutannya,” ujar Wahya lagi.
Setelah proses refleksi itu, Wahya mulai berpikir. Jalan yang dapat mengubah situasi dan pada akhirnya meningkatkan derajat kemanusiaan, tak lain tak bukan adalah pendidikan. Dia merasa sistem pendidikan yang dirancang Pemerintah yang terpusat di kota telah mengasingkan para siswa yang tinggal di daerah pedesaan. Lalu, Wahya meminta ijin Romo Mangun untuk tidak lagi bertugas di tim pendampingan Kali Code, melainkan pulang ke desa.
Apalagi saat itu, tahun 1987 hatinya beranjak pulih dan mulai membuka diri dengan menjalin hubungan dengan sesama aktivis pergerakan desa, Toto Rahardjo. Bertemu dengan Toto Rahardjo kelak membuka peluang baru untuk melakukan sesuatu, bahkan hingga kini. Yaitu pendidikan, terutama pendidikan di desa dengan kelompok perempuan sebagai pelaku penting bagi pendidikan anak-anak.