Perempuan bisa kehilangan identitasnya dalam lingkungan ekstremis radikal. Bayangkan hidup dalam sebuah kotak, di mana setiap gerakanmu terasa selalu diawasi dan setiap pikiranmu diatur. Itulah dunia yang pernah saya tinggali. Dunia yang sempit, penuh batasan, dan jauh dari kebebasan. Dunia yang kini saya sadari sebagai ekstremisme radikal. Namun, melalui resiliensi perempuan, saya berhasil keluar dari belenggu itu dan menemukan kembali jati diri saya.
Awal Perjalanan yang Tak Terduga
Ekstremisme kekerasan, kalimat yang tidak pernah pernah saya pikirkan. Kalimat tersebut kembali membawa saya pada kenangan semasa sekolah dulu. Rasa penasaran dan keinginan untuk lebih memahami agama Islam membuat saya tertarik untuk bergabung dalam komunitas keagamaan. Di sana, saya bertemu dengan Ani-nama samaran dan beberapa teman lainnya. Mereka teman seangkatan yang sangat ramah dan perhatian. Perlahan tapi pasti, pengaruh Ani semakin kuat dalam hidup saya.
Ajakan-ajakan untuk mendalami agama dengan lebih serius semakin sering saya terima. Tanpa sadar, saya semakin terikat dengan kelompok ini dan mulai masuk ke lingkungan pergaulan baru yang belum pernah saya ketahui. Saya sering mengikuti pertemuan-pertemuan untuk mendalami ajaran agama Islam. Setiap pertemuan, kami selalu diajak untuk mendiskusikan berbagai topik keagamaan yang menarik. Suasana kajian terasa sangat hangat dan kekeluargaan. Para anggota terlihat sangat antusias dan bersemangat dalam menjalankan ibadah.
Saya merasa menemukan ‘rumah’ kedua di tempat itu. Namun, seiring berjalannya waktu, saya mulai menyadari bahwa ada beberapa ajaran yang terdengar ekstrem dan tidak sesuai dengan pemahaman saya sebelumnya. Sayangnya, saat itu saya terlalu terlena dengan suasana yang menyenangkan sehingga tidak terlalu kritis terhadap apa yang saya dengar. Belum lagi doktrin agar tidak banyak membantah membuat saya semakin ragu untuk mengemukakan perasaan dan pikiran.
Secara bertahap, pemahaman saya tentang agama Islam dibentuk oleh ajaran-ajaran yang saya terima di komunitas tersebut. Saya diajarkan untuk menjauhi segala sesuatu yang dianggap bertentangan dengan agama, termasuk budaya populer dan pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Secara tidak langsung, narasi-narasi yang dibangun mengajak untuk tidak mempercayai ulama atau tokoh agama lain selain yang ada di dalam kelompok kami. Lambat laun, saya mulai merasa terisolasi dari lingkungan sekitar dan hanya berinteraksi dengan anggota komunitas itu saja.
Seiring berjalannya waktu, saya mulai merasa ada yang janggal dengan beberapa ajaran yang saya terima. Ajaran-ajaran tersebut terasa begitu ekstrem dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya saya dengar. Misalnya, dibolehkannya melakukan bom bunuh diri, dan perang/jihad dengan senjata sebagai puncak dari pengamalan Islam. Bahkan perang dianggap sebagai solusi untuk mencapai tujuan beragama.
Belum lagi narasi-narasi agama yang intoleran membuat saya menjadi seseorang yang memiliki watak keras kepala, tidak mau bernegosiasi, menganggap yang lain sebagai ancaman/musuh, sering merasa curiga dimata-matai apalagi oleh pemerintah (karena kelompok ekstrem menjadi perhatian serius bagi pemerintah), merasa paling benar dan lebih baik dari yang lain, dan enggan melebur dengan kelompok yang berbeda.
Hidup saya terasa begitu hitam-putih.Namun semua kejanggalan itu saya abaikan karena termanipulasi oleh anggapan bahwa cara beragama Islam dalam kelompok itulah yang benar. Perasaan terombang-ambing antara iman dan keraguan itu berlangsung selama 7 tahun.
Menuju Pencerahan Spiritual
Selama kurang lebih tujuh tahun, dari tahun kedua SMA hingga selesai kuliah, saya terjebak dalam jerat ekstremisme, sebuah waktu yang terasa sangat panjang. Dalam perjalanan itu, saya terus memvalidasi perasaan dan pikiran orang lain, sementara banyak keganjalan mengganggu hati saya. Saya merasa tertekan dengan doktrin-doktrin tentang perempuan.
Mereka sering mengatakan jika perempuan harus patuh pada laki-laki. Perempuan harus menjalani hidup dengan aturan-aturan ketat tentang cara berpakaian sebagai muslimah. Bahkan, menekan jika perempuan harus bersikap lemah lembut, dan anggapan menikah serta memiliki banyak anak sebagai tujuan. Saya juga merasakan beban dari ajaran kekerasan yang mengajarkan hal-hal mengerikan seperti perang dan bom bunuh diri.
Saya sempat mengimani itu semua sebagai hal yang memang seharusnya diyakini. Namun, titik balik datang ketika saya mulai berani mempertanyakan semua itu. Saya berperang dengan pikiran saya sendiri dan akhirnya menemukan tulisan-tulisan Kalis Mardiasih. Melalui tulisannya, saya berlanjut terpancing untuk berkenalan dengan tafsir mubadalah yang digagas Kyai Faqihuddin Abdul Kodir, dan bertemu dengan pemikiran Nyai Nur Rofiah.
Tulisan-tulisan Hasanudin Abdurakhman juga sangat berpengaruh besar dalam membantu saya untuk berani mempertanyakan kembali hal-hal yang menganggu pikiran saya. Dari situ, saya menemukan cara beragama yang terasa indah, damai, dan membahagiakan. Saya merasakan Islam yang sesungguhnya, rahmatan lilalamin, penuh kedamaian. Keberanian untuk mencari kebenaran dan membuat keputusan sendiri adalah langkah awal yang membawa saya pada kehidupan yang lebih berarti.
Malala Yousafzai saat berumur 16 tahun pernah mengemukakan, “buku adalah senjata untuk mengalahkan terorisme”. Kutipan itu relevan sekali bagi saya yang sedang berupaya keluar dari jerat-jerat ekstremisme yang sudah mengakar dalam diri. Tanpa mau membaca perspektif yang berbeda, mustahil bagi saya untuk terbebas dari ekstremisme agama.
Tantangan Membebaskan Diri dari Ekstremisme
Keluar dari bayang-bayang ekstremisme radikal adalah perjalanan yang penuh tantangan. Rasa takut dimusuhi dan dihujat selalu mengintai, mengingat pengalaman saya di komunitas itu, di mana jamaahnya cepat sekali menghakimi siapa pun yang berseberangan dengan pemahaman mereka. Selain itu, kehilangan teman-teman yang selama ini menjadi bagian dari hidup saya menjadi salah satu rintangan yang sulit.
Namun, seiring waktu, saya mulai melepaskan diri dari pemahaman ekstremis dan mempelajari Islam dengan paradigma yang lebih damai. Saya menemukan cara beragama yang bukan hanya menjadikan rahmatan lil alamin sebagai slogan, tetapi sesuatu yang nyata dan bisa saya rasakan. Setelah keluar dari bayang-bayang ekstremisme, saya tidak merasa benci kepada teman-teman lama.
Justru, pemahaman baru saya mengajarkan pentingnya saling menyayangi dan merangkul perbedaan. Meski demikian, hubungan kami secara alami mulai terputus. Pepatah yang mengatakan, “kita akan dikumpulkan dengan orang-orang yang sama/sefrekuensi,” terasa benar. Pindah ke kota yang berbeda memberi saya ruang untuk berpikir mandiri dan lebih jelas.
Resiliensi Perempuan
Selama perjalanan ini, saya melewati gejolak batin sendirian, namun saya merasa beruntung karena akhirnya berani memilih jalan yang menurut saya benar, jauh dari kendali orang lain.Melalui pengalaman ini saya telah menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki resiliensi/ketahanan yang luar biasa dengan berhasil keluar dari lingkungan ekstrem dan berbahaya.
Keberanian untuk mengubah situasi dan mencari jalan keluar merupakan contoh nyata dari resiliensi perempuan. Kini, saya terhubung dengan orang-orang yang memiliki perspektif yang sama, seperti dalam komunitas Puan Menulis yang memiliki concern seputar perempuan, keadilan gender, dan hal-hal yang beririsan dengannya. Bersama puluhan teman-teman perempuan lainnya, saya belajar untuk berdaya melalui kegiatan menulis.
Saya juga sesekali bergabung dengan majelis pengajian Tadarus Subuh yang diasuh oleh Kyai Faqihuddin Abdul Kodir. Dari komunitas-komunitas ini, saya mendapatkan dukungan untuk beragama dengan damai, serta terus berdaya dan merdeka dalam berpikir. Dengan perspektif yang lebih inklusif, kini saya merangkul dan membersamai puluhan perempuan yang tergabung dalam komunitas ibu bernama Moms Support Mom Indonesia.
Ruang perjumpaan online yang saya bangun bersama 5 teman lainnya untuk saling mendukung dan menjadi support system yang baik bagi sesama ibu se-Indonesia. Jujur saja, perjalanan spiritual selama berada di dalam kelompok ektremis ini menjadi pengalaman yang sangat traumatis bagi saya. Hingga saat ini saya masih berjuang untuk berdamai dengan diri sendiri karena penyesalan yang begitu dalam.
Namun, pengalaman ini juga mengajarkan saya bahwa keberanian untuk memilih dan berpegang pada prinsip sendiri adalah kunci untuk menemukan kedamaian sejati. Perempuan boleh memberdayakan diri sendiri dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan jalan hidupnya.
Hidup perempuan begitu berharga, maka ia pun juga memiliki kemerdekaan untuk menentukan sendiri arah hidupnya. Kisah ini dapat menjadi pertolongan bagi perempuan lain yang mungkin terjebak dalam situasi serupa agar dapat menemukan kekuatan untuk keluar dan mencari dukungan.