HomeOpiniRaudlatun dan Strateginya Melawan Tradisi Pernikahan Anak di Madura

Raudlatun dan Strateginya Melawan Tradisi Pernikahan Anak di Madura

Perkawinan anak adalah salah satu isu yang sangat polemik. Kita tahu bahwa banyak sekali dampak negatif yang akan ditimbulkan dari praktik tersebut.  Hak dasar anak seperti hak atas perlindungan dan diskriminasi, hak Kesehatan, hak Pendidikan dan hak sosial anak menjadi tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya hak Pendidikan contohnya, tentu juga akan memberikan dampak lanjutan bagi pembangunan.

Disahkannya UU No.16 Tahun 2019 adalah sebuah langkah progresif pemerintah yang patut untuk diapresiasi. Sebagai pengganti UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, UU ini memberikan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan yang awalnya 16 tahun menjadi 19 tahun, disamakan dengan batas usia perkawinan bagi laki-laki. Hal tersebut tertuang dalam pasal 7 ayat 1.

Namun, keefektifan regulasi tersebut nampaknya masih jauh dari harapan. Perubahan batas minimal usia kawin nyatanya tidak serta merta menghentikan praktik perkawinan anak. Hal ini dapat dilihat dari melonjaknya permohonan dispensasi kawin pasca diundangkannya peraturan tersebut pada tahun 2019. Tak terkecuali wilayah Madura yang terkenal paling tinggi  angka kasus perkawinan anak. Tercatat bahwa permohonan dispensasi kawin naik sampai dengan 10 % pasca perubahan undang-undang.

Adalah Raudlatun, atau yang biasa dipanggil mbak Odak, Seorang perempuan penggerak desa sekaligus ketua Sekolah Perempuan (SP) Kobher. Bertempat tinggal di desa Matanair, kecamatan Rubaru, Sumenep, Madura, dia aktif mengkampayekan pentingnya Pendidikan bagi perempuan dan bahaya perkawinan anak. Dalam talkshow She Builds Peace yang ditayangkan di Youtube pada tanggal 15 Oktober 2022, mbak Odak menceritakan bagaimana praktik perkawinan anak sudah menjadi tradisi yang mandarah daging bagi masyarakat Madura.

Mbak Odak menuturkan bahwa pandangan orangtua terhadap anak perempuan menjadi faktor utama penyebab tradisi ini masih dilakukan. Kebanyakan orang tua di Madura masih menganggap bahwa anak perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi. Mindset itulah yang melahirkan budaya seperti pertunangan sejak dalam kandungan dan kawin tangkap.  Orang tua akan menanggung aib jika anak perempuannya menolak perjodohan atau lamaran. Bahkan ada anggapan bahwa jika lamaran pertama ditolak maka perempuan tersebut tidak akan laku.

Selain itu, orang tua juga mempunyai motif yaitu keinginan untuk mengambil kembali sumbangan saat melaksanakan pesta pernikahan anak mereka. Sumbangan di sini maksudnya adalah uang atau kebutuhan pokok seperti beras yang sudah diberikan kepada sudara atau tetangga yang sudah lebih dulu menggelar pesta pernikahan anaknya.

Lebih lanjut mbak Odak mengatakan bahwa tidak hanya orang tua yang punya andil dalam pelaksanaan perkawinan anak, namun juga dari sisi anak sendiri. Mereka bahkan meminta sendiri untuk dinikahkan. Hal ini bisa saja dipicu karena ikut-ikutan temannya dan merasa itu sudah hal lumrah. Ditambah lagi, ketergantungan ekonomi yang masih bergantung pada orang tua meskipun mereka sudah menikah menjadi faktor pendukung.

Pendewasaan usia kawin dalam UU No.16 tahun 2019 yang digadang-gadang mampu mengurangi praktik tersebut nyatanya belum efektif di praktekkan. Hal ini dikarenakan regulasi tersebut berbenturan dengan regulasi lain yaitu dispensasi kawin dengan mengajukan permohonan dispensasi itu ke pengadilan.

Tantangannya kemudian adalah permohonan dispensasi kawin mengharuskan pemohon mengikuti segala prosedur berpekara dan juga membutuhkan biaya yang mahal. Hal tersebut menyebabkan banyak masyarakat yang mengambil jalan pintas dengan menikahkan anaknya secara siri terlebih dahulu, ketika sudah mencukupi umur baru mengajukan isbat nikah karena dinilai lebih murah. Masyarakat ternyata pintar mencari celah.

Karena itu menurut mbak Odak dibutuhkan strategi lain yang lebih sesuai dengan budaya masyarakat Madura. Dalam hal ini SP Kobher yang diketuainya memberikan andil besar dalam menciptakan perubahan dari segi mindset masyarakat terkait kesetaraan gender. Melalui SP Kobher yang saat ini beranggotakan 45 orang, para ibu mendapatkan ruang untuk bertumbuh bersama menjadi perempuan yang lebih bermanfaat dan lebih sadar akan hak-haknya.

Dengan kegiatan-kegiatan seperti kelas parenting, mengkaji kitab dengan perspektif keadilan gender, dan juga memperlajari modul-modul yang disediakan SP, ibu-ibu tersebut menjadi terbuka wawasannya. Pelan-pelan mereka menyadari bahwa perkawinan anak memberikan dampak negatif bagi perempuan dan juga terhadap relasi hubungan rumah tangga mereka kemudian. Seharusnya anak-anak dibekali Pendidikan dan keterampilan terlebih dahulu sampai mereka merasa siap untuk menikah.

Mbak Odak menambahkan, di tengah budaya penokohan yang masih kental dalam masyarakat Madura, maka memberikan teladan atau percontohan gender equality dalam keluarga juga menjadi penting. Dalam hal ini keluarga mbak Odak sekaligus menjadi teladan tersebut, karena suaminya sendiri juga aktif membersamai bapak-bapak dalam perkumpulan kajian kitab yang disisipi perspektif gender equality tersebut.

Strategi lain yang dilakukan adalah menggunakan cara-cara kreatif dalam mempengaruhi mindset masyarakat. Mbak Odak bercerita bahwa di desanya setiap tahun ada acara Class Meeting. Dalam acara tersebut anak-anak sekolah mengikuti perlombaan petunjukan drama. Dalam pertunjukan itulah kemudian dimasukkan narasi-narasi tentang dampak perkawinan anak dan juga pentingnya Pendidikan bagi perempuan. Harapannya, narasi yang dibawakan dalam bentuk performance tersebut dapat masuk ke dalam alam bawah sadar masyarakat dan memengaruhi mereka.

Dengan demikian, pelaksanaan UU No.16 tahun 2019 tentang pendewasaan usia kawin akan menjadi lebih implementatif. Regulasi tersebut tidak hanya sebatas formalitas saja, tetapi juga mampu mengubah tatanan sistem sosial di Madura. Pencegahan perkawinan anak perlahan akan memberikan dampak pada meningkatnya SDM masyarakat di Madura. Harapannya, yang dulunya masyarakat berlomba-lomba menikahkan anak, akan berubah menjadi berlomba-lomba menyekolahkan anak sampai jenjang tertinggi.

Dengan meningkatnya SDM tentu akan memberikan dampak positif juga dalam relasi keluarga. Penyelesaian masalah-masalah keluarga maupun ekonomi keluarga juga akan jauh lebih baik karena telah ada kesiapan. Dari mbak Odak kita belajar bahwa di tengah maraknya praktik perkawinan anak dan ruwetnya sistem budaya yang mendukung praktik tersebut, kita harus tetap optimis. Mbak Odak adalah salah satu dari sekian banyak aktor yang mengambil peran dalam upaya pencegahan tersebut. Keteladanan inilah yang harus kita contoh. Menjadi manusia bermanfaat yang memberikan kontribusi pada perubahan.

RELATED ARTICLES
Continue to the category

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments