Friday, October 25, 2024
spot_img
HomeOpiniPesan Emansipasi dan Perdamaian Dibalik Sulaman Perempuan Palestina

Pesan Emansipasi dan Perdamaian Dibalik Sulaman Perempuan Palestina

Pada pertengahan Desember tahun 2021, Badan Kebudayaan PBB atau UNESCO mengumumkan bahwa seni menyulam tradisional dari Palestina berhasil masuk ke dalam daftar warisan budaya tak benda. Kabar gembira ini tentu perlu kita sambut hangat, tidak hanya karena mereka telah berupaya untuk melindungi keberlanjutan warisan luhur, tapi juga karena dibalik kain-kain hasil sulaman tersebut, ternyata tersimpan catatan sejarah panjang, dan pesan-pesan kemanusiaan tersirat yang hendak disampaikan.

Sulaman Palestina – atau yang dikenal dengan istilah “tatreez” – adalah suatu metode menjahit dengan tangan untuk membentuk pola dan motif tertentu yang dicirikan dengan penggunaan benang berwarna cerah serta tekstur yang beragam. Tekniknya sendiri diperkirakan sudah berkembang di Timur Tengah sejak 3.000 tahun yang lalu.

Kerajinan ini sendiri telah menjadi ranah eksklusif para perempuan, yang diturunkan dari generasi ke generasi. Tak heran, layaknya resep, pola dan corak sangat bergantung pada tiap keluarga. Hasil sulaman sendiri, bisa dilihat dari kain-kain yang dijual atau dalam bentuk produk baju/gamis jadi. Salah satu contohnya adalah “thobe”, pakaian tradisional longgar yang dikenakan oleh wanita Palestina. Jenis pakaian ini lah yang sering memanfaatkan aplikasi border tradisional.

Untuk polanya sendiri, tidak sebatas bunga atau pun ornamen, namun juga berupa kisah yang dialami perempuan Palestina dan apa yang ada di sekelilingnya. Menurut peneliti berdarah Yordania-Palestina, Fatima Abbadi, pola yang dibuat biasanya merupakan simbol perjuangan politik. Apalagi jika itu dibuat oleh pengungsi, janda atau yatim piatu yang anggota keluarganya tewas akibat konflik.

Pola yang mereka buat kemudian menjadi alat yang powerful untuk membantu mereka mengatasi trauma. Serta penghasilan saat tulang punggung keluarga sudah tiada. Yang akhirnya, membuat tatreez tidak hanya dilakukan untuk mengisi luang, namun juga untuk mengumpulkan pundi-pundi uang. Hal yang menarik, berbeda dengan motif fast fashion yang banyak dianut negara-negara Barat, tiap pola taatrez memiliki makna tertentu bagi sang pemakai, dan juga bagi yang dapat membaca pesan dibalik makna tersebut.

Artinya sendiri bisa bermacam-macam, bisa melambangkan kesehatan, kemakmuran, perlindungan atau bahkan status perkawinan. Tak hanya itu, jika membandingkan satu daerah dengan daerah lain di Palestina, ternyata polanya pun tak ada yang persis sama. Di Ramallah misalnya, rata-rata taatrez yang dibuat bermotif pohon cemara, pohon palem, dan bulu di atas linen yang berwarna terang atau hitam. Lain Ramallah, lain juga Gaza. Di Gaza, kebanyakan  kainnya berpola liontin besar di dada.

Sedangkan di wilayah Hebron, dipenuhi dengan pola tenda-tenda Pasha dan bulan-bulan di atas gaun biru tua. Keindahan pola-pola yang dirajut melalui taatrez bahkan bisa menjembatani dua orang perempuan dari Palestina dan Israel, Najla dan Yael, untuk saling berkolaborasi dan membantu para pesulam yang berada dalam kondisi krisis finansial. Tak menggubris konflik antara dua negara, mereka saling bahu-membahu bekerjasama untuk mempromosikan hasil sulaman para perempuan Palestina.

Mereka menyebut kolaborasi itu dengan istilah “Cross Stitch for Palestine”, dengan harapan bahwa pengenalan dan penjualan hasil bordir akan membantu pembeli-pembeli di Israel untuk memahami lebih dekat kebudayaan Palestina, serta membantu para pengrajin Palestina semakin berdaya. Tiap minggunya, Najla akan mengumpulkan hasil sulaman dari kelompok wanita Palestina di enam desa di Tepi Barat dan satu desa di Jalur Gaza.

Setelah semuanya terakomodir, ia membawanya dengan bus dari rumahnya di Betlehem melalui Pos Pemeriksaan 300 ke Kota Tua Yerusalem, dan dari sana ke rumah Yael. Yael, pada gilirannya, lalu menjual produk sulaman dengan harga sekitar 3.000 NIS (atau setara dengan $ 750/sekitar 13,8 juta rupiah). Hasil bordir sendiri memiliki beragam tipe produk, dari sarung bantal, taplak meja, syal, hingga tas. Seluruh item tadi dipromosikan kepada teman, saudara dan kolega Yahudi Israel dari Yael setiap bulan.

Paham bahwa kedua wilayah mereka masih dilanda konflik berkepanjangan, mereka menjalankan partnership ini dengan sangat hati-hati. Karena ilegal bagi orang Israel untuk memasuki Tepi Barat dan Gaza, Yael tidak dapat membeli sulaman Palestina secara langsung sehingga ia bergantung pada Najla untuk proses pengambilan. Setiap tekstil yang Najla kirimkan ke Yael pun diberi label dalam bahasa Inggris dengan mencamtumkan wilayah tempat jahitannya. Bagi mereka, hal tersebut merupakan upaya menjembatani komunikasi tidak langsung antara kedua negara.

Sebab, sudah sangat jamak bahwa mayoritas publik Israel termakan propaganda pemerintahnya yang menyudutkan bangsa Palestina. Oleh karenanya mereka berharap bahwa pesan perdamaian dibalik pola sulaman Palestina perlu terus dilestarikan agar dapat membantu membuka sekat-sekat kemanusiaan yang tertutup rapat akibat perang berkepanjangan.

Hasna Azmi Fadhilah
Hasna Azmi Fadhilah
Hasna sedang menempuh studi doktoral antropologi politik di Universiteit van Amsterdam (UVA), Belanda. Di kala senggang ia berkomunitas di kelompok riset Gender and Sexuality PhD club di UVA dan masih berkolaborasi dengan teman-teman komunitas Puan Mmenulis. Sebelumnyaia mengajar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri dan Universitas Terbuka. Bisa dikontak melalui email: hasna.af@live.com atau melalui twitter @sidhila/Insta: @ngopidulubarunulis
RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments