Walaupun sudah terjadi puluhan tahun yang lalu, saya masih ingat dengan jelas bagaimana konflik etnis Dayak- Madura yang terjadi di sampit berlangsung sangat mencekam. Ketika itu saya masih berumur 11 tahun dan duduk di bangku kelas 6 SD. Bagi saya, itu adalah tragedi yang tidak akan mungkin saya lupakan seumur hidup saya. Kejadian tersebut terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah.
Warga Madura Terusir dari Sampit
Pagi itu, seperti biasa saya berangkat sekolah diantar bapak, namun ditengah jalan kami dihadang oleh massa yang bersenjata, entah Mandau atau celurit, saya kurang ingat jelas. “Bulik pak, bulik. Kerusuhan kerusuhan. Beapa pian di sini. kadida sakulah” ujar salah satu dari mereka berteriak menggunakan bahasa daerah yang pada intinya menyuruh kami untuk pulang. Bapak terlihat bingung sesaat, ketika itu yang saya rasakan hanya ketakutan dan mengajak bapak untuk kembali ke rumah.
Belakangan kami tahu bahwa kerusuhan sedang terjadi. Bapak memutuskan untuk mengungsi ke rumah bude saya yang ada di kota dengan asumsi rumahnya dekat dengan kantor polisi, jadi lebih aman. Dalam perjalanan tersebut, saya melihat sudah banyak mayat-mayat berserakan di jalan. Bahkan saya melihat adegan eksekusi tersebut. Bapak menutup mata saya dan melarang saya untuk membuka mata. Saya menangis ketakutan.
Kejadian setelahnya saya kurang ingat. Kami mengungsi di rumah bude yang lingkungannya adalah etnis Jawa semua. Yang saya ingat memang etnis pendatang selain madura tidak akan diincar, hanya dihimbau untuk mencari tempat aman. Setelah kerusuhan tersebut terjadi orang-orang Madura di tanah Sampit sudah benar-benar tidak ada lagi. Mereka sudah benar-benar terusir.
Nilai Perdamaian Dalam Falsafah Huma Betang
Yang menarik adalah, tidak berselang lama sekitar tiga tahun pasca konflik orang madura telah dapat kembali ke Sampit. Mereka kembali bermasyarakat dan mencari nafkah di tanah tersebut sama seperti etnis pendatang yang lain. Ini menandakan bahwa resolusi konflik yang diupayakan semua pihak telah berhasil dilakukan.
Ketika saya menggarap penelitian terkait sistem budaya dan keberagaman masyarakat Sampit, secara tidak sengaja saya menemukan bahwa ternyata hukum positif saja tidak bisa menyelesaikan konflik Dayak-Madura tahun 2001 itu. Konflik tersebut dapat berakhir dan berdamai salah satunya karena masyarakat suku Dayak sadar dan kembali pada falsafah Huma Betang.
Huma Betang sendiri adalah nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat Sampit asli yang diambil dari budaya Kaharingan sejak dulu. Huma betang adalah rumah panjang, bangunan tempat tinggal secara kolektif masyarakat Dayak pada masa lalu. Sebuah rumah besar yang dihuni banyak orang dengan beragam agama dan kepercayaan namun tetap rukun dan damai.
Gambaran masyarakat Dayak sebagai suatu kesatuan genealogis, sosial dan politik tercermin dalam kompleks pemukiman orang Dayak yang terdiri dari satu atau beberapa Huma Betang. Mereka terbentuk karena faktor genealogis, dan terikat oleh hubungan kekerabatan.
Beberapa komunitas Huma Betang tersusun menjadi satu struktur sosial komunitas orang Dayak yang memiliki satu sistem social tersendiri yang dipimpin oleh seorang Damang (ketua adat). Komunitas ini bersifat otonom dan mempunyai wilayah teritorial berupa area pemukiman, tempat keramat, ladang dan hutan
Kehidupan sosial di suatu Huma Betang dilandasi oleh rasa solidaritas social, gotong royong, dan diikat oleh norma sosial yang disebut belom bahadat (hukum adat). Ungkapan bumi dipijak, langit dijunjung dalam tradisi kebudayaan masyarakat Dayak tidak hanya merupakan sebuah pribahasa, melainkan sebuah pandangan hidup dan etika hubungan social di tengah heterogenitas etnis dan agama di wilayah tersebut. Belom Penyang Hinje Simpei, yang artinya adalah bahwa orang hidup haruslah penuh kerukunan dan menjaga persatuan demi kesejahteraan Bersama.
Huma betang adalah bangunan kokoh yang terdiri dari berbagai komponen yang berbeda namun saling menopang. Filosofi yang terkandung adalah bahwa dalam kehidupan bersama berarti kita membangun bersama, mendiami bersama dan menjaga bersama.Sehingga di dalamnya terdapat sifat egaliter, solider dan tolong menolong.
Jumlah penghuni yang berbeda baik suku, kulit, sifat, karakter dan kepercayaan dalam Huma Betang tidak dibeda-bedakan dalam kehidupan kesehariannya sehingga semuanya setara di hadapan sanksi hukum adat apabila melanggar.
Nilai-nilai perdamaian yang sangat humanis dalam falsafah Huma Betang tersebut kemudian dirumuskan dan dikukuhkan dalam sistem adat istiadat dan tata krama setelah diadakanya perjanjian rapat damai tumbang Anoi kabupaten Guning Mas pada 22-24 mei 1894.
Nilai-nilai perdamaian yang dirumuskan dari falsafah huma betang tersebut adalah kesetaraan sesama manusia, kebersamaan, kekeluargaan, persatuan, dan taat pada hukum. Secara langsung, penghuni betang harus taat terhadap nilai-nilai yang disebutkan tersebut. Melalui rapat ini juga disepakati 96 pasal hukum adat yang menjadi pedoman bagi para Damang suku Dayak di seluruh Kalimantan Tengah.
Huma betang Sebagai Resolusi Konflik
Selanjutnya, melalui hukum adat yang dirumuskan tersebut setiap permasalahan atau konflik yang terjadi selalu bisa diselesaikan dengan sidang dan upacara adat yang dilakukan oleh damang dan juga BATAMAD (Badan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak). Biasanya dalam siding tersebut akan dihasilkan suatu perjanjian terlulis yang disebut perjanjian perdamaian serta diakhiri dengan ritual adat perdamaian.
Nilai budaya unik Huma Betang menjadi sumber daya dan sebuah mekanisme peacebuilding dalam menyelesaikan konflik yang ada serta menjadikan transformasi konflik melalui dimensi budaya menjadi tercapai. Saya terkagum dibuatnya. Ternyata hidup berdampingan dengan masyarakat yang majemuk sudah disadari sejak dulu oleh para leluhur suku Dayak Kalimantan tengah.
Pada akhirnya nilai-nilai dalam falsafah ini terbukti mampu merekonstruksi perdamaian yang positif dan berkelanjutan di Kalimantan tengah, khususnya kota Sampit. Karena Sampit adalah kota dengan tingkat heterogenitas yang tinggi, maka falsafah Huma Betang ini bagaikan tameng dalam mencegah perpecahan dan konflik di Sampit.
Walaupun falsafah ini sudah ada sejak zaman dahulu, tetapi tidak akan pernah lekang oleh zaman dan akan selalu bisa diterapkan hingga saat ini. Semoga falsafah Huma Betang yang sejalan dengan Bhineka Tunggal Ika menjadi inspirasi bagi kita semua sekaligus sebagai pengingat, pemersatu, dan kekuatan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan di masyarakat. Aamiin Ya Robbal Alamiin.