Sunday, November 24, 2024
spot_img
HomeOpiniKUPI II: Mengenal Kepemimpinan Perempuan di Akar Rumput

KUPI II: Mengenal Kepemimpinan Perempuan di Akar Rumput

Berkesempatan menghadiri perhelatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang kedua merupakan pengalaman luar biasa bagi saya. Dalam forum tersebut saya bertemu dengan orang-orang hebat yang aktif menyuarakan nilai-nilai keadilan gender. Dalam bahasa kupi mereka disebut dengan ulama perempuan.

Jika orang awam atau perspektif umum mungkin masih mendefinisikan ulama sebagai mereka yang alim terhadap ilmu-ilmu agama saja, tidak demikian dengan kupi. Dalam pandangan kupi tidak ada dikotomi antara ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum, keduanya sama-sama penting dalam merumuskan kemaslahatan yang adil gender.

Pandangan tersebut membuka kesempatan bagi siapapun dan dari latar belakang keilmuan apapun untuk ikut serta dalam perhelatan ini. Tidak hanya mereka yang menguasai “ilmu langit” namun juga mereka yang bergerak di lapisan akar rumput. Nyatanya, cerita dan pengalaman mereka di lapanganlah yang menjadi inspirasi gerakan.

Dalam halaqoh pararel yang dibagi dalam kelas-kelas, saya berkesempatan mendengarkan cerita para perempuan hebat yang terjun langsung di masyarakat dan melakukan aksi-aksi nyata dalam pemberdayaan perempuan. Aksi mereka ini sangat berdampak pada kemaslahatan dan keadilan bagi perempuan, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan sampai pada isu lingkungan.

Di mulai dari wilayah Jawa bagian Barat, ada Nyai Hj.Ida Nurhalida. Beliau adalah Kepala Sekolah MAN Sukamanah sekaligus pengasuh asrama putri Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Dikenal sebagai pejuang kesetaraan gender di Tasikmalaya, ibu Ida aktif melakukan upaya-upaya pemberdayaan perempuan.

Sadar akan perannya di beberapa Lembaga dan juga persinggungannya dengan berbagai komunitas, ibu Ida merasa perlu untuk menginternalisasikan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan dalam setiap lembaga yang dipimpinnya. Misalnya dalam lingkup sekolah dan pesantren yang menjadi asuhannya, Ibu Ida tidak pernah lupa untuk memberikan motivasi kepada anak didik dan juga santrinya baik laki-laki maupun peempuan untuk memiliki Pendidikan tinggi dan juga menjadi mandiri secara ekonomi.

Isu gender juga tidak hanya disosialisasikan dengan lisan, tetapi juga lewat tindakan. Ibu Ida selalu memberikan kesempatan kepada para santri maupun guru perempuan untuk terlibat aktif dan memimpin berbagai kegiatan seperti ketua panitia, maupun bagian-bagian strategis lainnya.

Selain perannya dalam mensosialisasikan isu kesetaraan, Ibu Ida juga sangat peka terhadap isu lingkungan. Mengelola sekolah dan juga pesantren yang setiap hari memproduksi sampah menjadi kegelisahan tersendiri bagi Ibu Ida. Hal ini kemudian mendorongnya untuk bagaimana kemudian menciptakan pesantren yang ramah lingkungan. Menurutnya, “Membuang sampah pada tempatnya” di era sekarang ini sudah tidak relevan. Karena sejatinya sampah tersebut hanya berpindah tempat saja dan menggunung di TPA. Dibutuhkan manajemen pengelolaan Sampah sehingga benar-benar Zero Waste.

Selanjutnya kita geser ke daerah Jawa Bagian tengah Ada Nyai Ratna Ulfah, Ketua Majelis Taklim Ar Rohmah Purworejo. Nyai ratna berkisah bagaimana strugglenya perempuan yang menjadi orang tua tunggal sekaligus kepala keluarga. Saya bahkan dibuat menangis ketika mendengar cerita pengalamannya ditinggal mati suaminya yang kala itu menjadi satu-satunya tempatnya bergantung. Terlepas dari segala kesedihan dan beratnya hidup yang dialami sebagai janda, namun nyatanya justru karena menjadi janda, dia menjadi perempuan yang lebih berdaya.

Pengalaman hidupnya itulah yang kemudian menjadi latar belakang dan inspirasi baginya untuk mengumpulkan para janda dan perempuan kepala keluarga dalam satu wadah. Perkumpulan yang awalnya bertujuan agar para janda ini bisa “menangis bersama” lambat laun berkembang menjadi Majelis Taklim yang diberi nama Ar Rohmah.

Dalam majelis taklim inilah Nyai Ulfah menginternalisasikan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender. Bagaimana kemudian perempuan, khususnya para janda dapat lebih mengoptimalkan potensi dirinya agar lebih berdaya dan lebih kuat dalam menghadapi segala kondisi. Ada juga kegiatan seperti tabungan dan simpan pinjam sebagai bentuk support system antar anggota. Tujuannya tidak lain adalah untuk membantu meringankan beban para anggota yang mungkin sedang kesulitan finansial.

Mungkin banyak yang belum tahu bahwa dalam dalam atmosfer masyarakat kita, janda selalu dihadapkan pada situasi yang tidak gampang. Sudahlah dia bersedih karena berpisah dengan suami, baik yang ditinggal mati maupun bercerai, beban ekonomi yang dia tanggung sendirian, eh juga harus menghadapi stigma negatif di masyarakat. Pelabelan seperti Perempuan gampangan, penggoda suami orang menjadi tantangan berat yang harus mereka hadapi. Kehadiran sosok seperti Nyai ratna Ulfah bagaikan uluran tangan yang siap menggenggam, mendekap sekaligus menghalau berbagai ketidakadilan yang dialami para janda ini.

Di Jawa bagian Timur ada Nyai Raudlatul Jannah. Saya pernah menulis tentang Nyai Raudlatul dalam bentuk esai yang berjudul “Raudlatun dan strateginya Melawan Pernikahan anak di Madura”. Saya menulis bagaimana sepak terjangnya dalam memberdayakan perempuan di daerahnya, Sumenep Madura. Lewat komunitas Perempuan Kobher, mbak Odak, -begitu sapaan akrabnya- mengumpulkan para perempuan yang biasanya melakukan aktifitas domestik di rumah.

Sebagaimana arti dari kata Kobher yang bermakna sempat dan semangat, komunitas ini mencoba membuat prempuan lebih berdaya dan memaksimalkan potensinya. Kegiatan yang awalnya hanya membaca salawat Nariyah dan ngaji kitab, selanjutnya berkembang menjadi ruang diskusi tentang pengelolaan keuangan keluarga, pencegahan pernikahan anak, dan isu-isu gender lainnya. Bahkan mereka bersama mengembangkan Jamu yang mereka olah dari tanaman sekitar dan diproduksi sampai sekarang.

Cerita yang dikisahkan oleh para perempuan yang berjuang di akar rumput tentu saja tidak luput dari segala tantangannya. Terlebih sistem sosial di masyarakat kita masih belum sensitif gender. Akan ada saja kelompok yang menentang karena dinilai bertentangan dengan budaya dan agama. Apalagi di wilayah Madura yang bahkan tokoh agamanya pun masih banyak menganggap perempuan sebagai sosok kelas dua.

Namun setidaknya kisah mereka dapat menjadi inspirasi dan tauladan bagi kita semua. Kerja-kerja kepemimpinan perempuan di akar rumput dengan segala lika-liku tantangannya menggambarkan bahwa memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender di tengah masyarakat yang masih patriarki tidaklah mudah, namun juga tidaklah mustahil untuk dilakukan. Dengan keteguhan dan semangat menjadi khalifah fiil ardhi, Insya allah kita semua bisa menghadapinya, di manapun kita berada.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments