Tuesday, September 16, 2025

Belajar dari Erita Ibrahim: Wujudkan Perdamaian Melalui Media Sosial dan Seni di Bima

Bagi banyak kita yang tumbuh dan tinggal di kota, konflik komunal terdengar seperti fragmen sejarah yang telah berlalu. Tak lagi relevan dengan keseharian kita yang sibuk dan penuh agenda. Kita jarang berpikir tentang desa-desa yang berada jauh dari hiruk pikuk kota, yang lepas dari sorotan berita nasional. 

Padahal, bagi banyak komunitas di pelosok negeri, terutama di wilayah timur Indonesia, jejak konflik tertinggal dengan jelas di jalanan dan ingatan kolektif masyarakatnya. Desa Dadibou di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, salah satunya.

Sejak lama, Desa Dadibou terlibat konflik dengan desa tetangga, Desa Penapali. Berita mengenai konflik kedua desa tersebut dapat ditemukan sejak tahun 2017, misalnya dalam artikel berjudul “Semalam Bentrok, Panapali vs Dadibou Berlanjut Jum’at Siang” yang tayang pada 26 Mei 2017 di situs berita MetroMini

Kedua kelompok warga saling serang menggunakan senjata tajam dan panah. Tahun 2023, konflik kembali terjadi. Kali ini melibatkan tiga desa; Desa Dadibou, Desa Penapali, dan Desa Talabiu. Kompas memberitakan konflik antar desa ini dalam artikelnya berjudul “Tiga Desa di Bima NTB Bentrok, 1 Orang Terkena Panah”. 

Warga saling serang menggunakan kayu, batu, dan panah. Satu orang warga Desa Talabiu dilarikan ke rumah sakit karena terkena anak panah di punggungnya. Desa-desa tersebut bukan sekadar lokasi geografis, melainkan ruang hidup yang pernah diguncang kekerasan menahun. Yang tertinggal bukan hanya luka fisik, melainkan luka sosial yang tidak bisa disembuhkan begitu saja oleh waktu, melainkan melalui kerja nyata yang keras dan konsisten.

Salah satu sosok yang berdiri teguh di pusaran ketegangan adalah Erita Ibrahim, seorang perempuan Bima dari Desa Dadibou yang tak hanya menyaksikan konflik, tapi juga mengubah arah sejarah komunitasnya. Erita Ibrahim datang sebagai bagian dari masyarakat yang terluka dan berjuang dari dalam, melalui pendekatan budaya, spiritual, dan solidaritas perempuan.

 

Advokasi Perdamaian melalui Media Sosial dan Seni

Dalam sebuah inisiatif bernama Kampo Mahawo (Desa Damai) yang diusung Wahid Foundation berkolaborasi dengan La Rimpu–didukung oleh UN Women dan Pemerintah Belanda–Erita menjadi jantung dari upaya rekonsiliasi dan pemulihan sosial di Desa Dadibou. 

Namanya Erita, Erita Ibrahim, Ibu Rumah Tangga”, begitulah satu judul artikel La Rimpu yang terbit di situsnya pada 17 Mei 2024. Judulnya memberi kita gambaran sosok Erita yang tidak datang dari jargon-jargon besar. Seorang ibu rumah tangga sekaligus petani dan pedagang yang aktif bergerak di isu sosial dengan menghidupkan kembali praktik-praktik kultural dan nilai-nilai kolektif yang mampu menjahit kembali yang dikoyakkan konflik.

Melansir artikel berjudul “Pendapat Saya: Saya belajar bahwa perempuan memiliki kemampuan unik untuk membangun perdamaian” yang tayang di situs UN Women Asia Pacific pada 26 November 2024, Erita mulai membangun perdamaian dari langkah kecil. Ia membuat sebuah video mengajak masyarakat untuk menyudahi konflik menggunakan bahasa lokal Bima. Erita menginisiasi video ini bukan hanya bersama perempuan Desa Dadibou, desanya sendiri, tapi juga mengajak serta perempuan dari Desa Panapali.

Video ini viral di media sosial, ditonton lebih dari 1 juta kali, merasuk ke benak anak-anak muda desa, lantas masyarakat mulai membicarakannya sambil bersama membayangkan kemungkinan perdamaian yang selama ini utopis. Tak disangka, penggunaan media platform digital ini berhasil membuat kedua desa sepakat untuk membuat perjanjian damai.

Masih dari artikel yang sama, setelah perjanjian damai, Erita menyandingkan kelompok perempuan dan kelompok pemuda untuk sama-sama menjadi agen perdamaian. Kelompok perempuan itu bernama Matupa, berfokus pada terciptanya aktor perempuan yang turut serta mengadvokasi isu-isu sosial demi memastikan suara perempuan didengar. Sementara kelompok pemuda dinamakan Majelis Shalawat, berfokus pada upaya mempromosikan perdamaian lewat kreativitas seni dan musik.

Perwujudan kelompok perempuan Matupa oleh Erita sesuai dengan 1 dari 9 indikator Desa Damai, yakni “Partisipasi Perempuan”. Sebagaimana yang tercantum dalam modul Manual Praktis Pelaksanaan 9 Indikator Desa/Kelurahan Damai di situs peacevillage.id, Desa Damai harus memastikan keterlibatan aktif perempuan dalam proses pengambilan keputusan di desa, termasuk semua keputusan di desa mempertimbangkan pendapat kelompok perempuan dan rentan.

 

Kepemimpinan dan Partisipasi Perempuan dalam Pembangunan Perdamaian

Di desa dengan bekas luka kekerasan berbasis identitas, kepemimpinan perempuan seperti Erita yang mendorong partisipasi perempuan dan kelompok rentan lainnya menjadi penting. Bukan hanya untuk memulihkan komunitas, tapi juga demi memastikan suara perempuan didengar. Sebab ketika perempuan tidak dilibatkan, keputusan yang dihasilkan seringkali tidak menyentuh akar persoalan.

Di banyak wilayah konflik, perempuan kerap memilih bertahan ketika infrastruktur rusak dan akses pemenuhan kehidupan sehari-hari runtuh. Erita menolak identitas perempuan yang direduksi semata adalah korban. Erita, bersama perempuan agen perdamaian lain di desanya, bukan hanya penyintas, tapi perancang masa depan. 

Sebagai warga kota yang sulit membayangkan warna konflik di desa-desa, kita bisa belajar banyak dari sosok seperti Erita Ibrahim. Kita bisa belajar bahwa perdamaian tidak semata-mata diwariskan—ia justru diciptakan, hebatnya, dari kelompok yang paling mungkin mengalami kerentanan dalam wilayah konflik. Kita juga diingatkan bahwa kerja-kerja perempuan di akar rumput, yang kerap tampak mikro tanpa banyak sorotan, justru menjadi pondasi kuat bagi perdamaian yang berkelanjutan.*

Aya Canina
Aya Canina
Aya Canina lahir di Jakarta, 22 Januari 1995. Buku puisinya adalah Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). Ia adalah mantan vokalis Amigdala, dan penggubah lirik lagu Kukira Kau Rumah dan lagu-lagu lainnya. Ia juga menulis buku Upaya Membalut Luka (2023), dari sebuah proyek pencatatan kerja-kerja paralegal LBH Apik Jakarta dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Berbagai artikelnya muncul di media seperti Konde dan Magdalene. Ia menulis dan menjadi narator tunggal untuk siniar Hati Suri (Noice).

Terpopuler
Artikel

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here