HomeOpiniAfghan Women’s Secret Diary: Suara Perempuan yang Menuntut Keadilan

Afghan Women’s Secret Diary: Suara Perempuan yang Menuntut Keadilan

Sebelum kedatangan Taliban, perempuan di Afghanistan hidup sesuai keinginannya sendiri. Mereka menempuh pendidikan hingga jenjang kuliah, bisa bekerja, dan menjadi tentara. Namun, semuanya berubah setelah Taliban menguasai Afghanistan. Taliban kembali lagi ke Kabul tercatat pada 15 Agustus 2021. Mereka kembali dengan melakukan sebuah tembakan sebagai tanda perayaan bahwa mereka telah kembali. Namun, suara tembakan itu bagi perempuan Afghanistan mewakili hilangnya semua hak dan kebebasan mereka.

Sejak 100 hari kedatangan Taliban, lima perempuan dari berbagai profesi mengirimkan buku harian mereka kepada BBC News. Buku harian ini menceritakan potret kehidupan mereka setelah Taliban mengambil alih kekuasaan. Mulai dari Maari, seorang mantan tentara Angkatan Darat Afghanistan yang hendak berangkat kerja ke kantor kementerian pada pukul 07.30 pagi. Selama di perjalanan ia menyadari bahwa jalanan sangat sepi. Setibanya di kantor, ia mengharapkan hari yang sibuk untuk rapat dan konferensi.

Namun, ia segera menerima kabar bahwa Taliban telah kembali dan saat ini sedang menuju Kabul, ibu kota Afghanistan. Atasan Maari menyuruhnya pulang bersama perempuan lain. Namun ia menolaknya dan berkata, “Selama laki-laki bekerja, maka akupun akan bekerja”. Sayangnya kedatangan Taliban semakin dekat dan tidak bisa dihindari. Maari dan atasannya memutuskan menutup pintu kementerian dan mengirim semua orang pulang.

Di hari yang sama, Khatera seorang guru Geografi yang mengajar 40 anak remaja laki-laki sedang asyik membolak-balikan halaman buku. Pelajaran baru saja dimulai. Tak lama setelah itu, ia dan muridnya mendapat laporan Taliban sedang menuju Kabul. Kepala sekolah seketika menghentikan seluruh pelajaran dan mengintruksikan semua orang agar segera pulang.

Di perjalanan menuju rumah, Khatera melihat orang-orang berlarian di halte bus. Mereka membawa banyak barang bawaan dan anak-anak. Awalnya Khatera tidak merasa khawatir, kemudian ia melihat tentara Taliban menuju bandara dengan tas besar dan senjata di punggung mereka. Pada waktu yang hampir bersamaan, Zala seorang mahasiswa American University of Afghanistan, menerima email bahwa ia akan dievakuasi ke Amerika dalam waktu 48 jam. Dengan cepat ia berbelanja dan membeli perbekalan.

Di perjalanan, tiba-tiba ia melihat orang berlarian tanpa tau apa yang terjadi. Lalu, ada seorang pria yang memberitahunya bahwa Taliban telah kembali dan merebut Kabul. Seketika ia menangis, terutama saat melewati kafe tempat ia dan teman-temannya belajar. Mahera, seorang dokter muda spesialis kebidanan dan ginekologi tidak lagi bekerja setelah Taliban mengambil alih Kabul. Tak lama, ia mendapat telepon agar kembali bekerja di bawah pengawasan Taliban.

Baginya, tidak mudah bekerja bersama Taliban. Mereka banyak mengeluh dan membentak karena kurangnya layanan atau harga obat. Bahkan mereka mengira tidak memperlakukan pasien dengan adil. Banyak staf medis yang meninggalkan Afghanistan dan sebagian besar klinik telah ditutup. Meski begitu, Mahera memilih tetap tinggal di Kabul. Ia memutuskan melakukan perjalanan ke 12 distrik untuk memberikan pengobatan gratis. Baginya ini adalah pekerjaan penting, karena Afghanistan masuk ke dalam tingkat kematian ibu dan bayi terburuk di dunia.

Satu lagi, Wahida seorang lulusan hukum berusia 31 tahun. Sebelum Taliban kembali, ia mengelola perpustakaan di Kabul. Wahida yang tidak diperbolehkan lagi bekerja karena ia seorang perempuan, berhari-hari hanya duduk di balkon tempat tinggalnya. Ia mengamati tentara Taliban yang berpatroli di jalan telah mendikte kehidupan semua orang. Baginya tindakan ini perlu ditentang. Gerakan Pejuang Perempuan Afghanistan Melakukan Aksi Protes Wahida berencana melakukan protes bersama teman-teman perempuannya. Mereka menyebut diri mereka sebagai Gerakan Pejuang Perempuan Afghanistan.

Mereka turun ke jalan untuk menuntut persamaan hak. Baru berjalan sebentar menuju istana kepresidenan, mereka dihadang tentara Taliban. Di hari-hari berikutnya, Wahida mendapat laporan seluruh kegiatan perempuan dihentikan. Bahkan para perempuan dicambuk dan dipukuli dengan tongkat yang mengeluarkan sengatan listrik. Ini terjadi karena aksi protes yang dilakukan Wahida dan teman-temannya berdampak kepada perempuan lain.

Pada 7 September 2021, Taliban mendeklarasikan kemenangan di Lembah Panjshir, provinsi kecil di Afghanistan Utara. Wahida dan keluarganya berasal dari sana. Wahida turun kembali ke jalan untuk protes. Ia di temani saudara iparnya dan enam teman laki-lakinya. Saat ia menyerukan gencatan senjata, tentara Taliban menghampirinya membawa AK-47 dengan marah-marah.

Salah satu tentara mendekati Wahida dan berkata, “Sebaiknya kamu pulang dan memasak makan siang”. Wahida membalasnya, “Saya tidak takut dengan senjatamu!”. Keesokan harinya Taliban melarang protes. Setelah 100 hari Taliban berkuasa, ekonomi runtuh karena hilangnya bantuan internasional. Lima perempuan yang mengirimkan diari ini pun tidak lagi memiliki pekerjaan. Padahal diantara mereka ada yang berperan sebagai tulang punggung keluarga.

Khatera mendapat telepon yang memintanya kembali bekerja setelah Taliban mengumumkan anak laki-laki bisa kembali bersekolah. Segera ia ke kantor kepala sekolah dan menandatangi sebuah dokumen, tapi ia langsung disuruh pulang. Ternyata dokumen tersebut bagian dari bentuk protes agar guru perempuan bisa kembali mengajar. Sayangnya, Taliban melarang perempuan bekerja.

Khatera sebagai satu-satunya pencari nafkah di keluarganya, kini harus berjuang agar bisa membeli bahan pangan. Namun, Khatera hanya bisa duduk di rumah. Ia hanya bisa bermimpi untuk kembali ke sekolah bertemu dengan murid remaja laki-lakinya tersebut. Sedangkan Maari dan mantan rekannya dari Tentara Nasional Afghanistan telah bersembunyi sejak kedatangan Taliban. Mantan prajurit perempuan dijanjikan amnesti, tapi Maari tidak mempercayainya. Taliban mendatanginya beberapa kali mengira Maari menyembunyikan senjata di rumahnya.

Zala yang masih menunggu kabar untuk dievakuasi, ternyata tidak pernah terwujud. Setiap ia menerima email berulang kali akan dievakuasi dalam 24 jam, ia mulai percaya bahwa kepergiannya tidak akan pernah terjadi. Terakhir, Mahera yang mengabdikan dirinya dengan memberikan perawatan gratis hendak dipinang oleh seseorang yang berhubungan dengan Taliban. Mahera yang juga pencari nafkah di keluarganya dihadapkan dengan dua pilihan: menyelematkan nyawa pasiennya atau nyawa dirinya sendiri.

Potret kelima perempuan ini seolah menggambarkan kehidupan mereka telah terhenti sejak kedatangan Taliban. Kehidupan mereka tidak lagi seperti dulu, seorang perempuan yang memiliki hak dan kebebasan atas dirinya sendiri. Meskipun mereka telah berupaya melakukan protes, saat ini mereka belum bisa mendobrak ideologi Taliban tentang perempuan.

Mela Rusnika
Mela Rusnika
Aktif menulis dan saat ini aktif di Puan Menulis
RELATED ARTICLES
Continue to the category

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments