Friday, November 28, 2025

Hindun binti Abi Umayyah: Dari Korban Perang Hingga Advokat Kesetaraan bagi Perempuan dan Perdamaian

Hindun binti Abi Umayyah, yang lebih dikenal sebagai Ummu Salamah, merupakan salah satu tokoh perempuan penting pada masa Nabi Muhammad SAW. Lahir dari keluarga Quraisy yang terpandang di Makkah, Ummu Salamah dikenal karena kecerdasannya, keteguhan imannya, dan keberaniannya dalam menghadapi berbagai ujian. Ia termasuk di antara kelompok awal yang memeluk Islam dan menjadi saksi dari sejumlah peristiwa penting dalam sejarah perkembangan Islam, termasuk masa hijrah ke Habasyah, Perjanjian Hudaibiyah, serta penyebaran dakwah Islam di Madinah (Lings, 1983).

Salah satu aspek yang menonjol dalam perjalanan hidup Ummu Salamah adalah perannya dalam membangun jembatan perdamaian di tengah konflik dan ketegangan sosial-politik pada masa awal Islam. Melalui kebijaksanaan, kesabaran, dan nasihatnya, ia memberikan kontribusi signifikan dalam proses rekonsiliasi antara kelompok Muslim dengan kelompok Quraisy. Selain itu, Ummu Salamah juga dikenal sebagai salah satu periwayat hadis yang andal, sehingga pandangannya mengenai etika sosial, hak-hak perempuan, dan toleransi memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan norma-norma Islam di masa berikutnya (Umair, 1998).

Kehidupan Awal dan Perjalanan Iman

Ummu Salamah lahir dari keluarga terkemuka, Bani Makhzum, dan tumbuh dalam lingkungan yang memegang nilai-nilai kehormatan, kedermawanan, dan kesetiaan. Ia menikah dengan Abu Salamah Abdullah bin Abdul Asad, seorang Muslim awal yang termasuk golongan sahabat Nabi. Bersama suaminya, Ummu Salamah memeluk Islam pada tahap awal dakwah dan menghadapi berbagai bentuk penindasan dari kaum Quraisy.

Ketika tekanan terhadap umat Islam semakin keras, Ummu Salamah dan keluarganya termasuk kelompok pertama yang berhijrah ke Habasyah, mencari perlindungan di bawah Raja Najasyi yang dikenal adil. Pengalaman ini memperluas pandangannya tentang pentingnya toleransi antar agama dan perlindungan terhadap hak-hak kelompok minoritas, sebuah nilai yang kelak mempengaruhi sikapnya dalam upaya perdamaian (Lings, 1983).

Hijrah ke Madinah, Ujian Kehilangan, Hingga Pernikahan dengan Nabi

Setelah kembali dari Habasyah, Ummu Salamah dan Abu Salamah ikut berhijrah ke Madinah. Namun perjalanan ini tidak mudah, keluarga mereka sempat dipisahkan oleh tekanan pihak Quraisy, membuat Ummu Salamah harus menghadapi masa-masa sulit sebelum akhirnya dapat bersatu kembali. Keteguhan hatinya dalam menghadapi cobaan menunjukkan ketabahan dan keimanannya yang mendalam.

Sayangnya, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Abu Salamah wafat setelah terluka dalam Perang Uhud. Ummu Salamah menerima ujian tersebut dengan kesabaran luar biasa. Dalam sebuah hadis, ia meriwayatkan doa yang diajarkan Nabi untuk menguatkan hati saat ditimpa musibah: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali. Ya Allah, berilah aku pahala atas musibah ini dan gantikanlah bagiku yang lebih baik darinya” (HR. Muslim, No. 918). Doa ini tidak hanya mencerminkan kedalaman spiritual Ummu Salamah, tetapi juga memengaruhi banyak Muslim dalam menghadapi kesedihan dengan ikhlas dan penuh harapan.

Setelah masa iddah, Ummu Salamah dinikahi oleh Nabi Muhammad SAW, menjadikannya salah satu dari Ummul Mukminin atau Ibu bagi orang-orang beriman. Sebagai istri Nabi, perannya semakin penting, tidak hanya dalam keluarga tetapi juga dalam dinamika sosial dan politik umat Islam. Kecerdasannya membuatnya kerap dimintai pendapat oleh Nabi, terutama dalam situasi-situasi sulit yang memerlukan pertimbangan mendalam.

Peran Ummu Salamah dalam Perjanjian Hudaibiyah

Salah satu momen paling menonjol dalam kontribusi Ummu Salamah terhadap perdamaian adalah keterlibatannya dalam Perjanjian Hudaibiyah pada tahun 628 M. Perjanjian ini awalnya memunculkan kekecewaan di kalangan sebagian sahabat karena dianggap merugikan pihak Muslim. Namun, Ummu Salamah menunjukkan kebijaksanaannya dengan memberikan nasihat yang menentukan.

Ketika para sahabat enggan mematuhi instruksi Nabi untuk menyembelih hewan kurban dan memendekkan rambut sebagai tanda tahallul, Ummu Salamah menyarankan agar Nabi melakukannya terlebih dahulu tanpa berkata sepatah pun. Nabi pun mengikuti sarannya. Melihat tindakan Nabi, para sahabat akhirnya meneladani beliau dan melaksanakan instruksi tanpa perdebatan (Hisham, 2013).

Pendekatan Ummu Salamah menyoroti pentingnya kepemimpinan berbasis keteladanan dan komunikasi non-konfrontatif dalam membangun konsensus, sekaligus memperlihatkan peran strategis perempuan dalam proses resolusi konflik pada masa Nabi.

Kontribusi terhadap Perdamaian Sosial dan Hak Perempuan

Selain perannya dalam peristiwa besar Islam, Ummu Salamah juga dikenal sebagai sosok yang aktif memperjuangkan hak-hak perempuan. Ia kerap bertanya langsung kepada Nabi Muhammad tentang posisi perempuan, termasuk hak dalam ibadah, pendidikan, dan partisipasi sosial. Salah satu hadis mencatat bahwa ia pernah bertanya, “Mengapa kami para perempuan tidak disebutkan dalam Al-Qur’an sebagaimana laki-laki disebutkan?” (HR. Al-Tirmidzi, No. 3211). Pertanyaan ini menjadi salah satu sebab turunnya QS. Al-Ahzab ayat 35, yang menegaskan kesetaraan spiritual antara laki-laki dan perempuan.

Melalui keberaniannya, Ummu Salamah mendorong pemahaman Islam yang lebih inklusif dan setara, sekaligus berkontribusi pada terciptanya harmoni sosial di tengah umat Muslim.

Ummu Salamah merupakan salah satu periwayat hadis terbanyak di antara istri Nabi, setelah Aisyah, dengan lebih dari 300 hadis dinisbatkan kepadanya (Umair, 1998). Riwayatnya mencakup persoalan ibadah, etika sosial, musyawarah, hingga nilai-nilai kesetaraan. Peran ini menunjukkan pentingnya kontribusi perempuan dalam pembentukan pemikiran keagamaan Islam.

Selain warisan intelektualnya, kepribadian Ummu Salamah yang sabar, bijaksana, dan empatik menjadikannya teladan lintas generasi. Melalui keteguhan menghadapi ujian, keberanian menyuarakan pandangan, dan perannya dalam mendorong perdamaian, ia meninggalkan jejak spiritual yang mendalam.

Hindun binti Abi Umayyah atau Ummu Salamah adalah figur perempuan Muslim yang tidak hanya menjadi pendamping Nabi, tetapi juga aktor sosial penting dalam mempromosikan perdamaian dan kesetaraan. Kehidupan dan kontribusinya membuktikan bahwa perempuan memiliki posisi strategis dalam menavigasi konflik, memperjuangkan hak-hak umat, dan membangun masyarakat inklusif. Melalui kebijaksanaannya, Ummu Salamah tetap menjadi teladan bagi generasi Muslim hingga kini.

 

Referensi

Hisham, Ibnu (2013). The Prophetic Biography. Lebanon : Dar Al Kotob Al Ilmiyah

Lings, M. (1983). Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources. London : Allen and Unwind

Umair, Mirza. (1998). The History of al-Tabari (Vol. 35). State University of New York Press.

Terpopuler
Artikel

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here