Saturday, August 23, 2025

Kisah Luh Putu Anggreni Perjuangkan Partisipasi Perempuan dalam Perarem Adat di Bali

“Perempuan yang kena sanksi adat, padahal dia korban kekerasan seksual, misalnya. Karena hamil tanpa perkawinan, dianggap meletehkan (mencemari dan memberi petaka) desa adat. Jadi harus dikawinkan nih, padahal dia korban, bayangkan saja … bagaimana seorang korban harus menikah dengan pelaku.”

Luh Putu Anggreni, Sekretaris LBH APIK Bali, Prajuru Majelis Desa Adat Provinsi Bali bagian Perempuan dan Anak.

Keresahan itu menjadi salah satu hal yang membuat Bu Ang, panggilan untuk pegiat isu perempuan dan anak ini beserta ketiga temannya mendirikan LBH APIK Bali tahun 2009. LBH APIK sendiri adalah akronim Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan. 

“Selain melakukan pendampingan dan pembelaan, kami hadir di tengah pemerintah melakukan advokasi perubahan hukum ke berbagai pihak. Kami keliling Bali, bertemu anggota dewan untuk adanya peraturan dan kebijakan yang lebih adil, dan pro perempuan dan anak. Baik perda, perwali, perbup, dan terbaru peraturan desa adat.”

Bersama 11 pengacara perempuan lain di lembaga hukum yang sudah terakreditasi oleh Kemenkumham sejak 2012, Bu Angg berkeliling ke desa-desa adat, berdiskusi dengan prajuru adat, untuk menghasilkan perarem-perarem. 

Perarem adalah aturan adat yang dibuat, disepakati, dan diberlakukan oleh krama desa adat (warga desa adat) untuk mengatur kehidupan sosial, budaya, dan tata kelola di lingkungan desa adat tersebut. 

Ketika perumusan perarem melibatkan perempuan, adanya suara perempuan akan mempengaruhi putusan adat yang lebih pro perempuan dan anak. Kebutuhan perempuan dan anak seringkali terpinggirkan karena yang biasa mengeksekusi dalam hukum adat itu dominan laki-laki. 

“Di lapangan, bapak-bapak yang ikut sangkep (rapat desa adat), ibu-ibu biasa hanya jadi pembisik saja di belakang layar,” tutur ibu kelahiran Buleleng, Singaraja, 60 tahun lalu. 

Bu Anggreni sendiri pernah menjadi Komisioner Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAD) Bali tahun 2008-2011, desa adat di Bali biasa meyakini persoalan hukum adat hanya berlaku di desa adat tersebut saja. Sifatnya otonom, ada aturannya dan sanksi-sanksi bagi yang melanggar. 

 

Sayangnya, banyak prajuru adat yang tidak tahu bahwa karena desa adat ini di Indonesia, ada juga aturan-aturan yang menjadi hukum nasional yang mengatur warga negara. 

“Misal, apakah semua pengurus adat paham bahwa sudah ada revisi UU Perkawinan di mana batasan usia sekarang adalah 19 tahun, sehingga bila ada perempuan di bawah 19 tahun dipaksa kawin karena aturan adat, sesungguhnya itu sudah bertentangan dengan hukum di Indonesia,” tambah Bu Angg yang kerap mendapat hujatan  karena bergiat menjadi aktivis isu perempuan dan anak. Untung suami, tiga anaknya selalu menjadi support system yang baik bagi ibu ini berkegiatan. 

Menurut Bu Angg, penjelasan yang berimbang untuk situasi tersebut sesuai dengan istilah “Desa Mawa Cara” dan “Negara Mawa Tata, artinya “Desa Membawa Cara” dan “Negara Membawa Tata.” 

Ungkapan itu secara sederhana mengandung arti bahwa negara mengemban kuasa menata kehidupan rakyat dengan menghadirkan aturan, sedangkan rakyat melaksanakan tatanan negara dengan kearifannya.

Kehadiran LBH APIK Bali tak hendak mempertentangkan antara kuasa negara dan eksistensi desa adat, tetapi mendorong bagaimana satu sama lain bisa menghadirkan kebijakan untuk kemaslahatan rakyat. 

Sebagai prajuru MDA (Masyarakat Desa Adat) provinsi Bali, Bu Angg bersama para professor perempuan ahli adat akademisi UNUD, IHDN, mengawal lahirnya pedoman-pedoman hukum adat berdasarkan perda no 4 tahun 2019 tentang desa adat di bali, di mana peran petempuan mulai diperhatikan juga. 

Gerakan strategis yang sedang dan senantiasa diperjuangkan Bu Angg dan LBH APIK Bali adalah mendorong lahirnya peraturan adat atau sering disebut juga pararem yang mengatur mengenai isu perempuan dan anak, sehingga tidak mengabaikan lagi hak-hak mereka sebagai krama atau penduduk adat.

Ke depannya, adalah hal penting ahli-ahli hukum perempuan warga desa yang menjadi struktur pengurus di prajuru masyarakat desa adat, atau menjadi paralegal adat. Namun, situasinya masih tak sesederhana itu. Ada perempuan yang merasa tidak pantas atau ada yang merasa perempuan tidak pantas untuk itu. 

“Ruang-ruang kesempatan dan keterlibatan perempuan harus dibuka oleh laki-lakinya, karena biasanya prajuru-prajuru adat kita dijabat laki-laki. Jadi, harapan kami majelis desa adat mulai dari kabupaten, kota, kecamatan, mulailah mengadvokasi, membuka diri untuk melibatkan tokoh-tokoh perempuan di wilayahnya untuk menjadi struktur pengurus di prajuru masyarakat desa adat. Karena dengan semakin banyak agen-agen perubahan hukum yang lebih mengenal isu dan berkesempatan bersuara mengenai perempuan dan anak, desa adat akan semakin adil,” ujarnya.

Bu Angg dan LBH APIK Bali meyakini bahwa jika ada perempuan yang paham hukum terlibat dalam struktur pengurus Majelis Desa Adat, maka suara perempuan akan lebih tersampaikan dan lebih terwujud kesetaraan. 

“Biar bagaimana juga, perempuan Bali punya hak untuk  menyuarakan apa yang mereka rasakan dan butuhkan. Sehingga ketika nanti muncul persoalan perempuan dan anak, entah kekerasan, atau perceraian, para perempuan yang terkena kasus, bisa terdampingi dan lebih merasa nyaman,” tegasnya lagi. 

Sejauh ini, perjuangan LBH APIK Bali mulai menuai hasil. Tahun 2024 lalu, sembilan perempuan paham hukum masuk dalam Majelis Adat Bali mengikuti Pesamuan Agung di Pura Samuan Tiga yang mengumpulkan para Majelis Desa Adat dari kecamatan, kabupaten dan provinsi seluruh Bali. Mereka berkomitmen mengawal bagaimana isu wicara (proses peradilan adat), seperti apa mekanisme penerapannya.  

“Saat itu para perempuan ini terlibat ke dalam pengambilan keputusan adat yang akan menjadi acuan hukum desa adat se-Bali. Termasuk mengawal isu perkawinan, perceraian, dan waris, yang menjadi kebutuhan kaum perempuan di Bali. Dalam perkawinan bagaimanapun ada perempuannya, perceraian ada masalah waris dan anak-anak; karenanya penting putusan-putusan Pesamuan Agung melibatkan perempuan,” kata Bu Angg mengakhiri obrolan. 

Terpopuler
Artikel

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here