Kehidupan di Jakarta tidak serta merta membuat Luluk meninggalkan kampung halamannya. Sekali waktu di akhir pekan ia menyempatkan diri untuk mengunjungi Malang, kota kelahirannya. Selain keinginan untuk tidak menetap selamanya di Jakarta, amanah sang Ibu agar Luluk meneruskan Pesantren Putri yang dirintis orang tuanya menggerakkan hatinya. Setelah sang Ibu meninggal di tahun 2014, dua tahun setelahnya, sesuai janji yang disampaikan kepada sang Ibu, Luluk kembali ke kampung halaman setelah kurang lebih sembilan tahun pulang pergi Jakarta-Malang. Ia kembali aktif mengajar santri-santri putri di pesantren orang tuanya melalui kitab Tafsir Jalalain dan Bahasa Arab di madrasah.
Tidak lama berselang, ketika ayahnya memutuskan menikah lagi, Luluk merasa amanah sang Ibu untuk menjaga Pondok Pesantren telah gugur. Mengingat ada beberapa kebijakan yang kemudian berubah, secara bertahap ia memutuskan untuk uzlah atau menenangkan diri dari hiruk pikuk pesantren dan membeli rumah di kawasan perumahan Tidar, Malang. Namun tidak serta-merta ia meninggalkan kewajibannya mengajar para santri. Ia tetap pulang pergi dari rumahnya ke pesantren untuk mengajar.
Gated Community serta Kerentanan yang Menyertainya
Di tempat tinggal barunya, Luluk mendapati bahwa kawasan perumahan yang ia tinggali memiliki diversitas masyarakat dengan latar belakang yang berbeda. Didominasi oleh pendatang dari berbagai daerah bahkan keturunan berbagai negara, agama dan keyakinan yang heterogen. Akibat dari lanskap perumahan dengan tembok tinggi dan berpagar, mereka cenderung memiliki karakter yang individualis sehingga ruang-ruang perjumpaan di antara masyarakat sangat terbatas. Kontur bangunan di mana setiap rumah terpisah dengan pagar tinggi membuat interaksi antar warga semakin jarang.
Kesadaran untuk membuka ruang perjumpaan dan saling mengenal datang dari seorang warga perempuan yang beragama Kristen. Pada momen 17 Agustus, ia menghampiri rumah Luluk untuk mengumpulkan iuran peringatan Proklamasi Kemerdekaan. Hingga tiga kali ia datang, tetangganya itu kemudian menyampaikan keinginan dan keluhnya.
“Bu, kita ini kan semua pendatang. Kita nggak saling kenal satu dengan yang lain. Ayo kita bertetangga saling kenalan yuk. Gimana ya caranya supaya tetangga ini saling kenal, kita adakan pertemuan mungkin ya?” terang luluk menirukan bagaimana tetangganya berinisiatif mengadakan ruang perjumpaan.
Akhirnya, mereka memutuskan bahwa ruang perjumpaan itu berupa arisan. Namun, ternyata hal ini tidak cukup menarik perhatian warga. Mereka pun mencari celah, sehingga dirombaklah pertemuan antar warga itu tidak sebatas perkumpulan saja melainkan ditambah dengan siraman rohani.
Luluk kemudian didapuk menjadi koordinator kelompok Muslim. Niat awal Luluk untuk menenangkan diri dari hiruk pikuk pesantren dan melayani umat menjadi bergeser ketika ia juga mengamini kerentanan yang ada di komunitas. Di mana sisi individualis juga dapat memicu mereka tenggelam di dunia maya dan mengakses sumber-sumber pengetahuan agama yang tidak ramah, termasuk bergabung dalam pengajian-pengajian elit yang semakin eksklusif. Terlebih di masa itu, sekitar tahun 2016-2017, politisasi agama juga menjadi bahasan yang riuh pasca aksi 212 di Jakarta.
Politisasi agama tersebut sempat memunculkan stigma di antara komunitas Muslim dan nonmuslim. Hal ini ditambah lagi, dengan fakta bahwa di tahun-tahun tersebut, Malang sempat menjadi perbincangan karena menjadi kota tempat persembunyian dan penangkapan terduga teroris. Setelah menakar kemaslahatan jika ia terlibat langsung dengan kapasitasnya sebagai mubaligh, sebagai pribadi yang tidak bisa diam saja ketika melihat sesuatu yang tidak seharusnya, akhirnya Luluk menerima permintaan tersebut.
Melalui pertemuan awal itulah kesadaran berkomunitas dan kehidupan bertetangga tumbuh dan dirawat. Mereka kemudian membuat grup WhatsApp sebagai sarana komunikasi dan memunculkan kepedulian dengan tetangga. Dipilihlah ketua RT dan diputuskan adanya pertemuan warga selama satu bulan sekali.
Berdakwah di Kalangan Awam: Iman dan Akhlak, Kembali pada Firman Tuhan, dan Ruang Aman bagi Perempuan
Jumlah umat islam yang berada di lingkungan tempat tinggal Luluk yang mengikuti pengajian pada awalnya hanyalah 4 orang. Dari waktu ke waktu, jumlah jamaah semakin meningkat berkat informasi yang tersebar dari mulut ke mulut. Dari satu RT kemudian merambah menjadi satu RW hingga berjumlah sekitar 30 orang. Keberagaman latar belakang keislaman tidak dapat dipungkiri. Ada jamaah dari NU, Muhammadiyah, dan bahkan Hizbut Tahrir (HTI).
Bagi Luluk, membangun penerimaan di dalam interfaith dengan latar belakang keislaman yang berbeda bukanlah hal yang mudah. Ada beberapa pendekatan yang ia lakukan. Pertama, di masa awal, Luluk sangat merahasiakan identitasnya yang memiliki latar belakang keluarga pondok pesantren dan NU untuk menghindari resistensi. Selain itu, kesepakatan untuk tidak membawa ‘bendera’ ia gaungkan di dalam majelis dan seluruh jamaah menyepakati peraturan itu. Kedua, dalam menyampaikan ilmunya, Luluk melakukan kontra narasi terkait “Kembali pada Al-Qur.’an dan Hadis”.
Gempuran kampanye “Kembali ke Alquran dan Sunnah” yang dilakukan oleh kelompok Islamis kanan membuat Luluk tergerak untuk memunculkan narasi alternatif. Luluk gelisah tentang cara penafsir yang tegak lurus pada teks, cenderung bias, dan tidak mengindahkan tujuan penegakan syariat yaitu maslahat dan keadilan. Ia menggarisbawahi tentang ayat-ayat Al-Qur.’an di mana ada yang bersifat universal dan ada yang bersifat parsial. Ayat universal berkaitan dengan ketuhanan, dan ayat yang parsial berkaitan dengan kemanusiaan yang seringkali diperdebatkan.
Momen menjelang Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019 menimbulkan polarisasi masyarakat dan ketegangan antar umat beragama, tak terkecuali di lingkungan tempat tinggal Luluk. Ujaran kebencian yang dilakukan oleh kelompok HTI dan Front Pembela Islam (FPI) kala itu juga menjadi trending topik. Pernah suatu hari seorang jamaah ditegur oleh kelompok HTI karena menggunakan kerudung yang berbeda. Di sisi lain, terdapat warga non muslim yang menceritakan kegelisahannya kepada jamaah Luluk terkait betapa menakutkannya orang Islam yang melakukan teror dan mempolitisasi agama.
Secara khusus di kalangan jamaah Majlis Taklim Rahmah, dengan kapasitasnya dalam ilmu tafsir Al-Qur’an dan bahasa Arab, Luluk mengembalikan esensi kembali pada Al-Qur.’an dan Hadis. Hal ini dilakukan dengan kajian pada ayat-ayat yang mengajarkan tentang iman, sopan santun, menata hati, dan menjaga akhlak dari caci maki dan permusuhan. Pendekatan logika dan penggunaan narasi kehidupan yang dekat dan terjadi sehari-hari digunakan untuk membangun penerimaan dan menyebarkan pesan perdamaian. Dimulai dengan menggali permasalahan yang dialami dan riil terjadi di kalangan jamaah
Luluk menghindari mengambil contoh yang berjarak, seperti isu nasional. Bukan berarti menjauhkan masyarakat untuk tidak peduli, namun taktik ini dilakukan untuk menumbuhkan sisi reflektif dari jamaah tentang pengalamannya sehari-hari. Ketika mereka mampu merefleksikannya, maka bukan tidak mungkin mereka menarik garis kesimpulan yang lebih luas. Misalnya tentang bagaimana kehidupan bertetangga yang sesungguhnya bisa ditarik menjadi lebih luas bagaimana kehidupan bermasyarakat sebagai warga negara, karena komunitas adalah lingkup terkecil masyarakat. Refleksi atas pengalaman dalam lingkup kecil itu harapannya dapat diteruskan dengan merefleksikan sikap atas isu-isu nasional.