Sunday, December 22, 2024
spot_img
HomeCerita14 Tahun Sekolah Perempuan, Pak Sirto Wajah Lelaki Baru Kampung Sawah

14 Tahun Sekolah Perempuan, Pak Sirto Wajah Lelaki Baru Kampung Sawah

14 tahun berjalan, sebuah transformasi masyarakat Pondok Bambu mulai terlihat. Sekolah Perempuan menjadi ruang bagi ibu -ibu Pondok Bambu dalam upaya transformasi konflik di daerah mereka.  Sebagian besar ibu-ibu Sekolah Perempuan sekarang bukan hanya disibukkan dalam pekerjaan sebagai buruh cuci harian atau juga tugas pelayanan, namun mereka juga disibukkan dengan beragam aktivitas di lingkup kelurahan. 

Bukan hanya kelompok pengajian yang berhasil dibangun, namun rumah belajar bersama sebagai upaya pemberdayaan ibu-ibu. Proses belajar tidaklah mudah, banyak tantangan yang sewaktu menjadi hambatan dan juga pacuan di saat yang bersamaan. Seperti waktu dan jadwal kerja yang kurang bersahabat, tanggung jawab rumah tangga yang kadang membuat penat, hingga restu dari suami yang kadang menghambat. 

Saat ini hal tersebut bukan lagi  tantangan. Para suami telah mengizinkan sejumlah kegiatan yang dilakukan oleh para istri, pekerjaan rumah tangga tidak lagi menjadi beban bagi para istri, para suami ikut juga terlibat dalam kemajuan wilayah. Perubahan tersebut terjadi pada Pak Sirto, Suami dari Ibu Rohimah, penggerak Sekolah Perempuan Perdamaian Pondok Bambu.  Apa yang terjadi pada Pak Sirto lebih tepat disebut sebagai cerminan gerakan laki-laki baru. 

Pada tahun 2010, gerakan aliansi baru mulai muncul dan langsung menarik perhatian publik. Dalam perkembangannya, ada banyak istilah yang mencerminkan gerakan secaman ini. Salah satunya adalah laki-laki pro-feminisme. Ada pula kelompok laki-laki yang menamai mereka dengan istilah feminis laki-laki (male feminist). 

Kehadiran laki-laki pro-feminis berangkat dari kesadaran bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab yang sama untuk mengakhiri segala bentuk ketimpangan gender yang ada. Dalam sebuah wawancara, Pak Sirto menceritakan jika perubahan yang terjadi pada dirinya.  Dia mengakui perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh istrinya. 

”Jujur perubahan saya dipengaruhi dari bu rohimah. Pertama, dari pola pikir dan perubahan Ibu Rohimah. Jadi saya harus belajar juga. Saya ingin belajar juga. Saya juga ikut andil di dalamnya, walaupun sudah tua. Untuk bersosialisasi di masyarakat harus ikut juga,” ungkapnya. 

Diakui olehnya, istrinya menjadi barometer perubahan positif di kampungnya. Baik dari pola pikir atau hal lainnya. Salah satu aspek yang menjadi barometer kelurganya untuk masyarakat tentang pendidikan. Saat ini, kedua anak-anaknya telah menyelesaikan pendidikan sarjananya. Hal tersebut menjadi kebanggaan dirinya. Menyekolahkan anak sampai tingkat sarjana, bukanlah hal yang mudah. Apalagi, bagi dirinya yang menjadi driver ojek online. Perubahan positif tersebut, banyak ditiru oleh tetangganya. 

”Ada banyak tetangga yang mulai ingin menyekolahkan anaknya sampai tingkat sarjana. Saya sempat bercerita pada penumpang saya, jika saya menyekolahkan anak sampai sarjana. Saya diacungi jempol oleh penumpang saya,” ucapnya sambil menceritakan kejadian yang pernah terjadi. 

Jakarta yang menjadi kota metropolitan sekaligus ibukota negara, tercermin kisah buram sejumlah anak yang putus anak. Dia menceritakan, kasus putus sekolah masih banyak terjadi di lingkungan. Dirinya beruntung, bisa menyekolahkan anaknya hingga jenjang sarjana. Walaupun sudah banyak perubahan, ternyata masih ada tetangga yang kurang peduli tentang pendidikan anak-anaknya. 

”Ada, anaknya udah gede. Saya memberikan saran agar anak tersebut bisa diberikan keterampilan. Di kelurahan ada program keterampilan, seperti diklat atau sekolah lainnya. Kalau punya keahlian dia bisa bekerja dengan keahlian yang dia miliki,” terangnya. 

Begitulah gambaran kecil yang Pak Sirto lakukan untuk berkontribusi pada tempat tinggalnya. Suaranya tertahan sedikit. Dirinya mengambil nafas cukup panjang untuk melanjutkan cerita tentang dirinya dan perubahan di kampungnya. Menurutnya, sedikitnya ada tiga tantangannya bagi dirinya. Hal pertama adalah diri saya sendiri. Walaupun sudah ada banyak perubahan, dirinya berharap dan berusaha agar dirinya tidak kembali ke dahulu. 

”Apa yang ada saat ini harus dipertahankan. Bagaimana pun ke depannya, harus lebih baik lagi,” tegasnya. 

Wajah buram tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) masih menjadi menghantui masyarakat Ibukota. Dalam catatan Komnas Perempuan, Kasus kekerasan terhadap perempuan di DKI Jakarta menduduki peringkat paling tinggi dibandingkan daerah lain di Indonesia. Tercatat, selama tahun 2020 terjadi 2.461 kasus kekerasan terhadap perempuan di Ibu Kota. 

Masalah KDRT pun menjadi komitmen keduanya bagi dirinya, agar KDRT tidak terjadi lagi di lingkungan keluarganya. Serta meminimalisir kasus KDRT di lingkungannya. Dampak dari KDRT, menurutnya, adalah anak. Anak-anak sering terlantar akibat masalah orangtua. Komitmen ketiga, untuk di lingkungan keluarganya jangan sampai ada perselisihan, harus ada perdamaianan antar tetangga dan di dalam keluarga. 

Dalam sebuah wawancara, suaranya sangat menggebu-gebu untuk menceritakan setiap perubahan yang terjadi pada keluarganya. Dia sangat bangga pada anak-anaknya dan istrinya. Diakui olehnya ada banyak kejadian yang mengubah dirinya. Salah satunya, prihal adil. Dirinya baru menyadari, jika adil bukan prihal nominal. Tapi segala aspek harus diperhatikan. 

”Dulu, anak saya sama-sama dikasih ongkos Rp 10.000 untuk sekolah, tapi kakaknya protes dengan ongkos adiknya. Dari sana saya menyadari kalau adil bukan masalah nominal. Besoknya, saya kasih ongkos yang berbeda kepada adiknya. Si Adik juga protes tapi saya kasih pemahaman jika jarak sekolah kakaknya cukup jauh. Sedangnya adiknya jaraknya cukup dekat,” katanya.  

Perubahan kecil tersebut terus berkembang. Menyebar jugaaa kepada para suami lainnya dan berkomitmen untuk membangun kampungnya menjadi lebih baik. Saat ini Pak Sirto, turut andil dalam perubahan kampungnya, Kampung Sawah. Selama pandemik, disamping mencari nafkah dirinya juga aktif dalam tim gugus covid-19 di wilayahnya. Bahkan, dirinya memiliki prinsip untuk harus peduli terhadap masalah yang terjadi di masyarakat. Sebab, dirinya hidup bermasyarakat, sehingga perlu bersosialisasi. 

Imbalan, bukan menjadi masalah yang penting bagi dirinya. Hal terpenting adalah berbuat baik, sekecil apapaun perbuatan baik yang dilakukan, dirinya berkeyakinan jika akan ada sejumlah hal baik lagi yang akan didapat olehnya. Memajukan tempat tinggal menjadi komitmen bersama antar warga. Ada banyak kegiatan yang telah dilakukan. Mulai dari menanam tanaman di rumah, gerakan memberdayakan anak-anak muda dengan melukis tembok RPTRA. 

”Pagi-pagi, walikota nengok juga. Sampae pada foto 3 dimensi. Dari staf kelurahan dan kecamatan datang semua.  Pak walikota sering datang. Pak walikota jadi tau warganya punya kreatifitas. Jadi kampung diperindah dengan gotong royong. Nanam pohon juga di RPTRA. Kalau pak walikota datang, minta dibikinkan mie juga,” pungkasnya sambil tertawa. 

Nita Nurdiani
Nita Nurdiani
Ia sering menggunakan nama pena Nurdiani Latifah. Sejak 2019, bergabung bersama AMAN Indonesia dan menjadi staf media yang mengelola media sosial WGWC dan Knowledge-Hub WGWC. Sebelumnya, menjadi jurnalis di Bandung selama 3 tahun. Tulisannya pernah diterbitkan dalam antologi Perempuan Mengakarkan Perdamaian (AMAN Indonesia, 2022) dan Melangkahi Luka: 12 Kisah Perjalanan Menuju Damai (Jakatarub, 2014). Tulisannya juga dapat ditemukan di media keislaman online seperti islami.co, mubadalah.id, bincangmuslimah.com dan iqra.id. Penulis dapat dihubungi melalui instagram @nl_nurdiani
RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments