Beberapa membaca Kerusuhan Poso, saya masih gagal menangkap bagaimana mencekamnya suasana ketika kejadian. Saya lahir 1992 dan pada tahun 1998, saya baru saja berusia enam tahun. Saat itu, belum banyak orang yang memiliki gadget, internet dan fasilitas seperti hari ini. Cerita kerusuhan Poso, saya dapat di beberapa seminar keberagaman. Saya hanya berimajinasi, kerusuhan tersebut seperti 1998. Mungkin, kejadiannya lebih dari itu.
Saya dibesarkan di daerah yang sudah menerima agama lain sebagai ‘teman’. Tapi, masih ada kecurigaan diantara kami. Beberapa kali, ada banyak tetangga saya mulai curiga ketika tetangga agama lain memberikan makan, apalagi saat perayaan. Ada kecurigaan yang cukup tinggi diantara kami tentang makanan yang mengandung babi. Kami, umat muslim tidak boleh memakan babi.
Saya baru menyadari, hubungan kita sedang tidak baik-baik saja. Walaupun kami, tidak pernah berkonflik, tapi kami tidak baik-baik saja ternyata. Saya membayangkan tentang paska kerusuhan Poso, salah satu wilayah di Sulawesi Tengah. Saya bisa membayangkan segregasi yang terjadi. Penuh kecurigaan satu sama lainnya. Bahkan, lebih parah dari kecurigaan yang pernah saya alami.
Rasa curiga nampaknya tidak pernah hadir dalam sosok perempuan paruh baya, Ibu Wuri. Dia adalah ketua presidium sekolah perempuan. Wajahnya Nampak damai dan selalu menyambut siapapun yang datang menemuinya. Saya ingat saat pertama, wajahnya saat pertama kali bertemu dengan saya.
”Oh ini yang namanya Mba Nita?” tanyanya, sambil memegang tangan saya dan menatap saya, cukup lama.
Saya hanya bisa tersenyum kepadanya. Tidak ada wajah curiga kepada muslim. Tapi, kerusuhan Poso yang terjadi 1998, benar-benar luka yang mendalam baginya. Saya tidak pernah melihatnya menangis, tapi beberapa waktu lalu saya mendengarkanya sedikit terisak saat bercerita.
”Kami sempat tidak tidak saling bertegur sapa dengan agama lain,” ucapnya, mungkin sambil mengenang paska kerusuhan yang sempat terjadi. Saya baru mengerti, bahwa di Poso benar-benar mencekam paska kerusuhan.
”Tapi, saat ini sudah merayakan lebaran dan natalan bersama. Dan kami, sudah membuat banyak kegiatan bersama,” suaranya kembali bersemangat.
Melalui Sekolah Perempuan, Ibu Wuri dan ibu-ibu lainnya banyak sekali membuat kegiatan untuk mempererat hubungan muslim dan Kristen. Ruang-ruang pertemuan yang semakin diperbanyak untuk menghilangkan rasa curiga satu sama lain. Mempertemukan para orangtua antar umat beragama menjadi komitmen anggota sekolah perempuan di Poso untuk mempererat persaudaraan yang sempat renggang.
Ibu Wuri adalah salah satu ibu-ibu yang sudah berteman dengan sosial media. Dalam gambar yang diposting di facebook, tergambar senyum dalam setiap pertemuan yang dilakukan oleh ibu-ibu Sekolah Perempuan. Kelas-kelas regular menjadi pertemuan rutin antar anggota sekaligus pertemuan antara umat beragama di Poso. Kegiatan terus berkembang, Sekolah Perempuan semakin melebarkan sayapnya lebih luas, untuk menjangkau pertemuan-pertemuan antar umat beragama.
Dibawah komando Ibu Wuri bersama Sekolah Perempuan membuat Kebun sayur organic Green Fresh. Sebuah kebun sayur dengan lahan yang cukup luas menjadi pertemuan antara muslim dan Kristen di Poso. Menjaga komitmen sekaligus antisipasi agar konflik tidak terjadi lagi. Kerusuhan masih menjadi luka yang belum sembuh.
”Kami belajar untuk berdamai dengan alam. Karena, menjadi agen perdamaian bukan hanya berdamai dengan manusia, melainkan berdamain dengan alam juga,” terangnya.
Sangat menarik, konsep Bu Wuri memperkenalkan damai yang lebih luas ke pada masyarakat. Berdamai bukan hanya berdamaian dengan sesame manusia saja. Melainkan berdamai dengan juga dengan alam. Memperkenalkan damai dengan mudah kepada masyarakat yang lebih luas. Menjaga damai untuk menjadi ruh untuk setiap orang yang ada di wilayahnya, Poso.
Ibu Wuri bercerita dengan sangat bersemangat jika kebun sayur organic semua orang belajar bersama, baik muslim dan kristen. Mulai belajar memperlakukan tanah dengan baik tanpa menggunakan bahan kimia apapun, memilih bibit, menyiaramnya dan merawatnya. Sampai sayuran tumbuh dan bisa dimasak dalam keadaan tanpa kimia apapun.
Saya tak habis pikir dengan Ibu Wuri, dia membuka kelas regular Sekolah Perempuan di ladang. Di mana para bapak ikut mendengarkan materi tersebut. ”Mereka juga ikut mendengarkan. Kami belajar, para bapak juga ikut mendengarkan. Mereka ngangguk saja!” katanya.
Kebun sayur organik mulai tumbuh dengan pesat. Hingga akhirnya, Ibu Wuri dan temannya membuat pasar sayur organic seminggu sekali sebagai pertemuan besar antar kampung hingga desa. Pertemuan pun menjadi besar, masyarakat saling bertemu dan bertegur sama satu sama lain. Saling bertukar kebutuhan. Salah satunya yang terjadi pada penjual ikan muslim.
”Jika panen terjadi, memberikan juga sayur organic pada penjual ikan muslim. Kemudian, istri penjual ikan malah member kami ikan. Dan itu berlanjut sampai hari ini,” ungkapnya.
Begitu indah interaksi muslim dan kristen yang dibangun Ibu Wuri bangun melalui Kebun Sayur organic Green Fresh. Dia melanjutkan ceritanya, jika ada masyarakat yang belum mendapatkan Sayur Organik, dia akan memberikannya secara langsung. Apalagi, jika kelompok muslim yang belum mendapatkannya, dia akan memberikan sayur organik secara langsung. Ada banyak usaha yang dia lakukan untuk mempererat hubungan muslim dan Kristen bersama Sekolah Perempuan di Poso. Harganya pun cukup murah, Rp 5000 untuk 250 gram sayur. Siapapun bisa mengkonsumsi sayur sehat yang murah.
”Sekarang ada banyak orang yang berkomitmen mengkonsum makanan sehat,” tegasnya.
Selain itu, pihaknya juga membuka kelas-kelas pertanian organik. Tanggapannya cukup baik di masyarakat. Ada banyak muslim yang mau belajar tentang sayur organic.
Ibu Wuri Nampak bangga atas kerja keras yang dia lakukan bersama ibu-ibu sekolah perempuan. Berdamai dan bersahabat dengan tanah menjadi komitmen bersama membangun perdamaian yang lebih luas. Bersama dengan kebun sayur organic, menyebarkan damai menjadi hal yang menyenangkan bagi Ibu Wuri.
”Saya pernah menyampaikan kelas regular di kebuh sayur organic. Di sana ada banyak laki-laki yang mendengar,” ucapnya sambil tertawa pelan.
Saya berpikir, jika Ibu Wuri adalah sosok perdamaian yang sesungguhnya. Membangun damai dari akar rumput bersama ibu-ibu dan anak-anak. Menyebarkannya dengan berbagai kegiatan. Melalui tangan Ibu Wuri dan Sekolah Perempuan, damai bukan imaji lagi. Damai bisa kembali dibangun bersama.