Wednesday, December 4, 2024
spot_img
HomeHari Perempuan Internasional, Hari Perlawanan Atas Ketidakadilan

Hari Perempuan Internasional, Hari Perlawanan Atas Ketidakadilan

Di tengah realitas sosial yang mencekik, perempuan ada di baris terdepan perlawanan. Perempuan memimpin dan bersuara. Menyuarakan anti penindasan terhadap mereka yang lemah dan termarginalkan. Sejak hari perempuan internasional pertama diperingati. Sejak awal abad 20, hingga hampir seperempat abad 21 kini. Api perlawanan terus membara.

Saya menerima pita emas sebagai penanda bagian dari rombongan aksi International Women’s Day (IWD) Jakarta pagi ini dari Koordinator Lapangan. Segera saya ikatkan di pergelangan tangan kiri. Menambah energi saya setiap kali mengepalkan tangan ke udara. Ini adalah aksi IWD pertama yang saya ikuti sejak berdomisili di Jakarta.

Tidak Ada Sumber Masalah Tunggal bagi Perempuan

Melalui aksi ini, saya kembali belajar. Narasi ketidakadilan terhadap perempuan tidak pernah tunggal. Ia selalu beririsan dengan berbagai permasalahan sosial. Namun hari ini, Indonesia patut menuding pelaku yang melanggengkan berbagai masalah tersebut; oligarki.

“Hei para oligarki. Lihatlah semua ini. Gunung kau keruk habis. Laut kau reklamasi. Rumah rakyat kau gusur. Lahan tani kau rampas. Semuanya tidak adil.”

Massa berulang kali menyanyikannya sepanjang long march dari Bawaslu hingga Monas. Lagu “Di sini senang, di sana senang” disulap menjadi narasi kritik terhadap oligarki. Saya baru pertama mendengar lagu ini. Beruntung, Koordinator Lapangan aksi bersedia merapalnya dengan fasih sehingga saya mudah menghafalnya.

Di barisan samping saya berdiri belasan perempuan dari Kampung Bayam, Jakarta. Mereka merupakan warga terdampak pembangunan Jakarta International Stadium (JIS). Saya lekas bertanya mengenai perkembangan advokasinya. Seorang perempuan paruh baya yang saya tanyai menjawab, mereka masih belum menerima kunci rumah susun yang dijanjikan.

“Kami warga kampung bayam ditindas di negeri sendiri. Dua tahun. Dua tahun kami hidup tanpa air dan listrik. Tidur di pelataran. Di mana keadilan untuk warga kampung bayam?”

Diah, perwakilan dari Kampung Bayam berorasi sembari memukulkan kertas tuntutan ke massa. Suara perempuan Kampung Bayam menyahut ajakan takbir dari Diah dengan lantang. “Allahu Akbar!”

Narasi perlawanan perempuan datang dari berbagai isu. Satu per satu disuarakan oleh orator. Perwakilan dari Konde.co menyampaikan tantangan kekerasan terhadap jurnalis perempuan. Salsabila pun menjadi korban PHK kantornya tahun lalu, imbas dari kebijakan UU Cipta Kerja.

Ketika massa berhenti di seberang kantor ESDM, orator dari Halmahera mengutuk kebijakan hilirisasi nikel. Ia bilang, perempuan di Halmahera kini makan dan minum yang bercampur nikel. Saya menengadah ke gedung tinggi di sebelah kanan jalan, sembari menahan emosi yang bergejolak.

Massa terus melangkah sampai sekitar patung kuda, sembari menyanyikan lagu Buruh Tani. Kritik tak hanya disampaikan melalui orasi. Ada tampilan monolog, puisi, dan lagu. Ketika lagu “Kebenaran Akan Terus Hidup” dinyanyikan, massa melambaikan tangan dan mengangkat poster sembari turut bernyanyi. Lagu aransemen Fajar Merah yang liriknya merupakan puisi karya Wiji Thukul ini tak pernah gagal membakar semangat. 

Selanjutnya saya  menyimak setiap orasi dari berbagai identitas perempuan. Perempuan disabilitas, perempuan buruh, perempuan buruh migran, perempuan nelayan, perempuan LGBTQ, serta perempuan pejuang HAM. Semuanya menyuarakan perlawanan atas ketidakadilan sosial di Indonesia.

 

Bukan Hanya Milik Perempuan

Narasi perlawanan adalah narasi khas hari perempuan internasional. Jika dilihat sejarahnya, hari perempuan internasional berawal dari aksi 15.000 buruh perempuan di Kota New York. Mereka menuntut jam kerja yang lebih singkat, gaji yang lebih baik, dan hak untuk memilih (1908). Satu tahun kemudian, Partai Sosialis Amerika mendeklarasikan Hari Perempuan Nasional untuk pertama kalinya.

Adalah Clara Zetkin yang membawa gagasan Hari Perempuan Internasional dalam konferensi buruh perempuan di Kopenhagen, Denmark (1910). Bersama dengan 100 perempuan dari 17 negara, gagasan itu disepakati. Sedangkan, PBB baru turut merayakannya puluhan tahun kemudian di tahun 1975.

Hingga hari ini, 114 tahun setelah gagasan hari perempuan internasional pertama kali disepakati, narasi perlawanan tetap digaungkan. Karena faktanya, kekerasan terhadap perempuan dan kelompok minoritas masih menjadi problem yang pelik. Maka, saya setuju kala Nadila dari Kalyanamitra menyampaikan bahwa hari ini bukan hari milik perempuan saja.

“Hari Perempuan internasional bukan hanya hari perempuan, tapi adalah hari kita semua, yang mengingatkan kita bahwa perjuangan tidak berhenti di sini.”

Dalam narasi perlawanan aksi IWD kali ini, perempuan menegaskan langkah untuk menjaga demokrasi dan hak-hak perempuan. Orasi Ika dari Perempuan Mahardika turut mempertegasnya.

 “Mari kita pertahankan demokrasi, karena itu adalah syarat hak-hak yang kita perjuangkan selama puluhan tahun. Kebebasan yang kita perjuangkan dengan darah dan keringat ini, akan terus ada, akan terus menjadi basis dari lahirnya gerakan-gerakan perempuan baru ke depannya.”

Aku, Kamu (Lawan Impunitas). Aku, Kamu (Jaga Demokrasi)

Yel-yel aksi berulang kali diserukan. Aksi ditutup dengan teatrikal memasukkan poster dan tuntutan peserta aksi ke dalam kotak suara. Eka dari Koalisi Perempuan Indonesia membacakan tulisan di poster sebelum dimasukkan. Setelahnya, kami memberikan cat merah di telapak tangan dan mengecapnya pada banner “Hal-hal yang merusak demokrasi”.

Di tengah ketidakpastian demokrasi di Indonesia, saya lega. Energi yang saya dapatkan dari aksi ini akan saya simpan rapat-rapat sebagai penjaga bara dalam perjalanan. Melawan ketidakadilan, menuntut hak-hak yang terabaikan, memperjuangkan ruang aman. Karena Hari Perempuan Internasional sepatutnya menjadi hari perlawanan atas ketidakadilan.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments