“Sebaik-baiknya hidup adalah bisa mendedikasikan diri untuk kebaikan bersama. Mandat beragama bukan hanya tentang beribadah kepada Tuhan, melainkan juga mencakup kepedulian terhadap sesama dan berpihak pada orang-orang yang dilemahkan.”
Kutipan di atas adalah jawaban Lique ketika ditanya soal motivasi yang membuatnya terus bergerak melakukan perubahan di isu keberagaman dan kemanusiaa.
Lahir di Keluarga Tionghoa dan Kerap Mendapatkan Diskriminasi
Angelique Maria Cuaca atau yang kerap dipanggil Lique lahir di Padang, Sumatera Barat. Lique merupakan perempuan yang aktif bergerak di isu keberagaman dan kemanusiaan. Ia lahir di keluarga Tionghoa. Sebagai perempuan dengan identitas peranakan Tionghoa dan beragama Kristen, Lique kerap mendapat diskriminasi dari orang sekitar bahkan sampai saat ini.
Diskriminasi yang ia dapatkan beragam bentuknya. Lique memiliki wajah yang cukup oriental. Wajahnya mewakili sebagai etnis Tionghoa: bermata sipit, wajah bulat, dan kulit langsat. Diskriminasi pun ia dapatkan dimulai dari tatapan mata orang lain terhadap dirinya. Selain itu, ketika masih sekolah, terdapat temannya yang dilarang orang tuanya main ke rumah Lique karena di rumahnya memasak babi dan dianggap tidak higienis. Ada juga orang tua yang melarang berteman dengan Lique karena identitasnya beragama Kristen. Kerap pula mendapatkan stigma sebagai orang Tionghoa yang berduit dan pelit. Prasangka-prasangka buruk itu kerap ia dapatkan hingga hari ini.
Lique beranggapan bahwa kondisi tersebut adalah persoalan kesadaran orang dalam memandang perbedaan. Saat ini masih banyak orang yang menganggap bahwa perbedaan adalah ancaman. Padahal, Lique adalah perempuan yang lahir di keluarga yang sangat beragam dan menjunjung nilai-nilai toleransi.
Lahir di Keluarga Beragam
Lique besar dalam keluarga yang beragam suku maupun agama. Identitas agama keluarganya cukup beragam yakni, Islam, Buddha, Hindu, Tionghoa, dan Kristen. Suku keluarganya juga beragam karena peranakan Tionghoa sudah bercampur dengan etnis atau suku lain.
Berbicara mengenai soal keberagaman, ia sudah terbiasa. Sejak kecil ia terbiasa dengan perayaan Hari Besar agama masing-masing keluarga. Ketika Idul Fitri, Natal, Imlek, atau perayaan Hari Besar lain, Lique turut merayakan bersama keluarga.
Kondisi ideal dalam keluarga Lique ternyata berbenturan dengan kondisi masyarakat luar. Hal tersebut yang membuatnya mengalami keresahan. Ia melihat bahwa saat ini banyak orang yang mempersoalkan tentang perbedaan untuk tidak melakukan kebaikan bersama. Keresahan tersebut yang membuatnya terdorong untuk melakukan gerakan perubahan dan membuat sebuah organisasi yang bernama Pelita Padang.
Lique dan Gerakan Perubahannya Bersama Pelita Padang
Lique bersama dua kawan lainnya mendirikan Pelita Padang pada 10 November 2019. Pelita Padang adalah organisasi orang muda yang bergerak pada isu perdamaian dan keberagaman. Organisasi tersebut lahir dari keresahan-keresahan atas fenomena yang terjadi saat itu.
Pada 2019, setelah pemilu presiden, Lique melihat kondisi masyarakat mengalami degradasi yang luar biasa. Bahkan, grup WhatsApp keluarga bisa terpecah karena dukungan paslon 01 atau 02. Narasi-narasi yang dikeluarkan pada saat itu adalah berbasis etnik maupun agama. Pemilu bisa selesai, tapi prasangka-prasangka yang melahirkan kebencian tak beralasan masih bertahan hingga hari ini.
Hadirnya Pelita Padang bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan toleran. Menurut Lique, untuk mewujudkan tujuan tersebut banyak yang bisa dilakukan. Di antaranya adalah melakukan gerakan sosial berbasis kemanusiaan, melakukan pendidikan, dan advokasi.
Ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia, Pelita Padang banyak melakukan aksi kemanusiaan. Di antaranya adalah mengadakan penyemprotan disinfektan gratis, melakukan galang dana untuk bansos, dan meminjamkan tabung oksigen gratis. Gerakan lintas iman tersebut dibangun untuk menggalang dana dari semua pihak dan untuk semua pihak. Aksinya pun mendapatkan respon baik dari orang-orang lintas iman karena dulu ketika pandemi, orang-orang cenderung hanya membantu orang lain yang seagama. Dari sana, gerakan Pelita Padang semakin luas dan banyak orang muda yang terlibat.
Pada tahun 2021, Pelita Padang mulai masuk ke ranah advokasi hingga saat ini. Pelita Padang yang dipimpin oleh Lique pernah mengadvokasi beberapa kasus. Pertama, kasus pelarangan hijab di SMKN 2 Padang. Advokasi tersebut dilakukan bersama bersama jejaring lokal maupun nasional. Sampai akhirnya lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri yang mengatur tentang seragam sekolah. Meski pada akhirnya dicabut oleh MK.
Kendati demikian, Lique bersama jejaring tetap melakukan gerakan bersama Ombudsman wilayah Sumbar untuk terus mengawal kasusnya. Advokasi tersebut berdampak pada mulai banyaknya sekolah di Padang yang tidak memberlakukan aturan wajib memakai hijab dan ada ketersediaan guru agama di sekolah.
Kedua, pernah mengadvokasi salah satu kasus pelarangan tempat ibadah gereja di Padang dan hasilnya tidak jadi ditutup. Ketiga, mengadvokasi kasus aturan wajib memakai rok di asrama Universitas Andalas. Aturan tersebut bukan aturan dari kampus, melainkan aturan yang dibuat oleh senior-senior asrama yang dibuat dengan narasi agama. Pernah ada dua mahasiswa Unand ketahuan menyimpan celana untuk ke gereja dan celananya digunting. Hasil advokasinya adalah pembina asramanya diskorsing. Aturan di asrama yang hadir tanpa seizin kampus pun dihapuskan.
Di samping itu, Lique dan Pelita Padang pun aktif melakukan pendidikan dan pelatihan tentang keberagaman. Misalnya, pelatihan advokasi dan kunjungan tempat ibadah untuk peningkatan kapasitas. Aktif juga membuka ruang jumpa untuk menghapus prasangka-prasangka negatif.
Dalam melakukan advokasi maupun gerakan perubahan, Pelita Padang berjejaring dengan komunitas atau lembaga masyarakat sipil lainnya. Seperti Aliansi Penggerak Pembela HAM yang diisi oleh kawan-kawan pembela HAM dari berbagai isu. Jejaring ini sangat membantu untuk memperkuat gerakan.