Terlahir dalam keluarga Ahmadiyah adalah keberkahan bagi Aulia Fauziah. Perempuan muda kelahiran tahun 1995 ini merasa sangat bersyukur bisa lahir dan tumbuh di lingkungan Jemaat Ahmadiyah Manislor, Kab. Kuningan, Jawa Barat.
Tinggal di bawah kaki gunung Ciremai, membuatnya tumbuh jadi perempuan yang teduh dan tenang. Ia tidak mudah marah, apalagi menghakimi orang yang berbeda dengannya. Justru kecintaannya pada Ahmadiyah mendorong Aulia untuk menyuarakan nilai-nilai perdamaian.
Sebab, dalam perjalanan hidupnya ia sering kali menyaksikan berbagai kekerasan yang diterima oleh Jemaat Ahmadiyah. Dikutip dari tulisan Siti Robiah dalam buku “Perempuan Penggerak Perdamaian” disebutkan bahwa salah satu peristiwa yang meninggalkan luka bagi Aulia dan saudara-saudaranya ialah ketika MUI Kuningan mengeluarkan Fatwa No. 86/MUI-KFH/X/2004 tentang pelarangan Ahmadiyah Manislor.
Buntut dari fatwa tersebut, Jemaat Ahmadiyah di Manislor mengalami berbagai kekerasan, mulai dari penyerangan, penyegelan, pembakaran tempat ibadah dan pelarangan kegiatan keagamaan dari kelompok yang mengatasnamakan ormas di Kuningan.
Berbagai rangkaian kekerasan tersebut menyisakan luka dan trauma bagi Jemaat Ahmadiyah. Tidak hanya itu, fatwa tersebut juga mempengaruhi kehidupan pendidikan, relasi sosial dan pelayanan administrasi pemerintah desa Manislor pada Jemaat Ahmadiyah.
Lebih dari itu, perempuan dan anak mengalami beban yang lebih berat. Dalam masa konflik, mereka rentan mengalami kekerasan fisik, psikis, bahkan seksual. Karena itu, bagi Aulia dan perempuan-perempuan Jemaat Ahmadiyah lainnya, luka dari peristiwa tersebut tidak pernah benar-benar pulih.
Namun, meski menjadi Jemaat Ahmadiyah tidak selalu mudah, Aulia tetap teguh dengan pilihannya. Bahkan saat ini ia bergabung dengan Lajnah Imaillah Indonesia, sebuah lembaga atau organisasi yang menaungi perempuan Jemaat Ahmadiyah.
Dilansir dari Lajnah.id, Lajnah Imaillah atau biasa disebut LI merupakan badan yang menaungi perempuan dalam Jemaat Muslim Ahmadiyah. Badan ini dibentuk dalam sebuah struktur dengan tujuan melatih, mengembangkan, dan meningkatkan pengetahuan agama dan akademis, memperoleh keterampilan perihal kesehatan dan kebugaran, mengelola perdagangan dan urusan industri dan mengembangkan kemampuan.
Menyebarkan Pesan Perdamaian Lewat Seni Mural
Lewat LI, kepedulian Aulia pada sesama makin kuat. Terutama pada kelompok minoritas agama. Ia terus bergerak menanamkan serta merawat nilai-nilai inklusif dalam berbagai ruang dan tempat. Ia ingin, anak-anak muda penerus bangsa tumbuh tanpa penghakiman dan bebas dari perlakuan diskriminasi dan kekerasan atas nama agama.
Dalam upaya mewujudkan cita-cita tersebut, seni mural jadi salah satu pilihannya. Baginya mural ternyata bukan hanya untuk memperindah tembok-tembok di lingkungannya, tapi juga mampu menjadi alat komunikasi visual yang efektif untuk menyampaikan pesan perdamaian dan toleransi pada masyarakat di Manislor.
Ia dan kawan-kawan muda Jemaat Ahmadiyah menggabungkan elemen-elemen artistik lokal dan simbol-simbol budaya yang relevan dengan komunitas Manislor. Tujuannya adalah untuk mendekatkan budaya lokal dengan seni mural.
Selain itu, lewat mural secara perlahan ia juga kerap kali menyisipkan nilai-nilai yang dimiliki oleh Jemaat Ahmadiyah. Seperti nilai tentang kasih sayang pada sesama, tidak boleh membenci orang lain, dan harus selalu menebar cinta kasih pada seluruh makhluk di dunia.
Aulia tak pernah lelah mengingatkan bahwa Ahmadiyah bukan “sesat”, tetapi bagian dari Islam yang memegang nilai-nilai yang sama dengan umat muslim lainnya, sama-sama rahmatan lil’alamin.
Pengalaman Live in di Manislor
Selain menyuarakan nilai perdamaian dan toleransi lewat seni mural, Aulia juga menggawangi kegiatan Live In di Manislor, di mana Jemaat Ahmadiyah mengundang atau menerima berbagai kalangan masyarakat untuk tinggal di desa Manislor. Baik dari kalangan mahasiswa, dosen atau komunitas lintas iman.
Aulia percaya lewat Live In, masyarakat bisa bertemu dan berdialog langsung dengan Jemaat Ahmadiyah. Harapannya pertemuan tersebut mampu membangun jembatan pemahaman antara Jemaat Ahmadiyah dengan masyarakat sekitar. Sehingga relasi keduanya bisa lebih kuat dan harmoni.
Sebab dalam kacamata Aulia, besar kemungkinan adanya diskriminasi dan kekerasan pada kelompok minoritas agama adalah karena masyarakat umum tidak memahami nilai dan ajaran dalam agama lain. Sehingga mereka mudah curiga, menghakimi, dan pada akhirnya merasa pantas untuk melakukan kekerasan.
Oleh sebab itu, Live In bisa menjadi jembatan yang mempertemukan dua kelompok, membuka ruang perjumpaan dengan hidup berdampingan dan saling memahami satu sama lain. Menurut Aulia, pengalaman ini lebih mudah menumbuhkan empati pada umat yang berbeda, dibandingkan dengan hanya membaca atau mendengarkan ceramah-ceramah di masjid.
Tips Aulia Menghadapi Penolakan
Selama berkampanye lewat seni mural dan kegiatan Live In, jalan Aulia tidak selalu mulus. Terkadang gerakannya mendapatkan penolakan dan stigma neagtif. Apalagi dia sebagai perempuan.
Namun dalam proses itu, Aulia tidak pantang menyerah. Ia melakukan berbagai hal untuk mengevaluasi gerakannya supaya lebih mudah diterima. Masih dikutip dari buku yang sama, Aulia membagikan empat tips agar kampanye isu perdamaian bisa diterima oleh masyarakat luas.
Pertama, pahami penyebab penolakan dengan melakukan dialog terbuka. Hal ini lah yang juga ia lakukan ketika mural yang digambarnya dikomentari oleh masyarakat di Manislor. Dengan dialog terbuka ini, ia jadi paham gambar apa yang cocok untuk disajikan dalam kampanye selanjutnya.
Kedua, libatkan kelompok yang menolak dalam perencanaan kegiatan. Contohnya, dalam program Live In, Aulia akan mengundang anggota kelompok yang awalnya skeptis untuk berpartisipasi dalam sesi diskusi dan workshop bersama peserta Live In.
Ketiga, manfaatkan pendekatan berbasis data dan informasi yang mendukung tujuan gerakan perdamaian. Contohnya, ketika ada keraguan tentang efektivitas program, Aulia mempresentasikan hasil survei dan evaluasi yang menunjukkan perubahan positif dalam sikap dan pemahaman peserta. Aulia juga menunjukkan studi kasus dari daerah lain di mana inisiatif serupa berhasil meningkatkan hubungan antar kelompok.
Terakhir, menjaga komunikasi yang baik dengan kelompok yang melakukan penolakan. Tujuannya agar relasinya tidak semakin buruk. Menurut Aulia menjaga relasi dengan kelompok yang berbeda itu butuh strategi, salah satunya komunikasi yang mengedepankan kasih sayang dan mendengar dengan hati. []