Sunday, December 22, 2024
spot_img
HomeMuchlisah dan Pohon Toleransi: Ditanam, Dipupuk dan Dirawat, Berbuah Lebat untuk Semua

Muchlisah dan Pohon Toleransi: Ditanam, Dipupuk dan Dirawat, Berbuah Lebat untuk Semua

Muchlisah Mulkin, lahir pada tahun 1973, menghabiskan masa kecilnya di desa internasional, tepatnya di Sorowako, Sulawesi Selatan. Sorowako merupakan desa penghasil nikel terbesar di Indonesia. Mengapa lingkungan tempat ia lahir dan besar berpengaruh signifikan terhadap cara pandang, sikap dan geraknya dalam memaknai perbedaan?

Karena Sorowako merupakan daerah tambang yang membentuk pola masyarakat dengan beragam etnis, suku, agama, bahkan beragam bangsa. Kegiatan Muchlisah Mulkin kecil bersama teman-temannya adalah mengumpulkan perangko dari para bule yang tinggal di lingkungan tersebut untuk melengkapi koleksi perangko mereka. Saat itu memang masih era keemasan komunikasi dengan surat-menyurat menggunakan perangko sebagai alat bukti pengiriman jasa. Hobi filateli menjadi trend sebagian kalangan.

Di ujung komplek tempat tinggalnya, terdapat tetangga yang menganut Kristen Advent yang kerap mengadakan kegiatan keagamaan di rumahnya. Muchlisah beserta keluarga dan tetangga yang lain tidak pernah merasa terganggu akan hal tersebut. Muchlisah bahkan dapat mengingat dengan pasti, ketika sang Ayah yang merupakan tokoh agama/ulama yang juga seorang pengajar akuntansi mengajaknya bersilaturhami kepada keluarga yang sedang merayakan hari raya Natal. Dengan kehidupan masa kecil yang beragam, Muchlisah dapat merasakan indahnya perbedaan dalam ruang kehidupan yang sama.

Pergulatan Menginjak Remaja

Ketika menjadi seorang siswa SMA, Muchlisah berjejaring dengan teman-teman yang memperkenalkan organisasi mahasiswa HMI (Himpunan Mahasiswa Indonesia) ke sekolahnya. Hingga pada akhirnya Muchlisah berkenalan dengan jilbab, yang masih langka di tahun 1980an, terlebih yayasan pendidikan di bawah perusahan nikel yang melarang siswanya menggunakan jilbab. Sejak saat itu, ia merasakan diskriminasi keagamaan. Kemudian ia pun pindah sekolah. Pada kenaikan kelas dua SLTA, keluarlah peraturan pemerintah yang membolehkan penggunaan jilbab di lingkungan sekolah. “Adanya aturan itu kemudian membuat saya kembali kepada sekolah semula walaupun dengan segala drama yang terjadi,” kata Muchlisah Hal tersebut terjadi karena Kepala Sekolah yang Katolik tetap melarang penggunaan jilbab di sekolah.

Sampai akhirnya, ayah Muchlisah protes dengan memberikan ultimatum kepada pihak sekolah, dengan mempertaruhkan posisinya sebagai tenaga pengajar jika sang anak tetap dilarang menggunakan jilbab. Tentu saja pihak yayasan merasa wajib mempertimbangkan ultimatum ini, mengingat ayah Muchlisah merupakan tenaga pengajar yang memegang banyak mata pelajaran, seperti Agama, Ekonomi, Mengetik Sepuluh Jari, Akuntansi dan lainnya. Jika tidak mengindahkan permintaan Muchlisah, yayasan akan merugi karena harus mempersiapkan beberapa guru baru untuk mengganti posisi ayah Muchlisah pada beragam mata pelajaran tersebut. Maka pihak yayasan lebih memilih mengeluarkan Kepala Sekolah tersebut dan mempertahankan ayah Muchlisah.

Pun saat Muchlisah menjadi seorang mahasiswa dan bergabung dengan HMI, ia juga berjejaring dengan organisasi lain, seperti menjabat sebagai Ketua KOHATI Komisariat Sastra tahun 1995. Tidak sampai setahun menjabat, Muchlisah merasa ingin memiliki pandangan lain dengan beralih kepada kajian Darul Arqam yang berasal dari Malaysia. Antara 1993-1995, Muchlisah mengatakan ia menggunakan cadar. Itupun tidak lama, karena Muchlisah ingin menambah lagi wawasannya dengan mendalami aliran dan pemikiran Syi’ah pada tahun 1995. Selama 6 bulan secara intensif, Muchlisah mempelajari aliran Syi’ah bersama Maulana Jalaludin Rakhmat di Bandung.

Di sini ia mempelajari tentang Ahlul Bait dari perspektif Ushuludin dan perspektif lainnya. Perjalanan spiritual Muchlisah terus berlanjut, ia mempelajari beragam madzhab dan mengantarnya pada satu madzhab terkuat yang diikuti, yakni madzhab Ahlul Bait, atau lebih dikenal dengan Syi’ah. Keputusan atas madzhab tersebut bukanlah tanpa alasan. Muchlisah mendapatkan pemahaman Fikih Progresif, aturan syara’ yang tidak kaku, ajarannya penuh cinta dan kasih sayang seperti pada madzhab yang diajarkan Maulana Jalaludin Rakhmat ini. Sehingga pada tahun 2000, Muchlisah memantapkan dirinya untuk bergabung pada madzhab tersebut dan merasa nyaman hingga sekarang.

Syi’ah dan Buddha, Titik Temu antar Aliran dan Agama

Muchlisah mengatakan, 4 tahun belakangan, ia tertarik agama Buddha disebabkan metode meditasinya. Pada tahun 2018, ia memutuskan ikut retret meditasi dengan belajar langsung dari pemuka agama Buddha di Bali. Saat melakukan proses ini, Muchlisah banyak menemukan banyak benang merah yang dapat menjadi titik temu dengan ajaran agama Islam. Sehingga, pengetahuan baru yang ia dapatkan menambah cakrawala wawasannya. Maka ia sangat yakin pada prinsip dan titik berpikirnya saat ini, yakni untuk mengedepankan agama dari aspek welas asih (al-rahman al-rahim) dan menebar perdamaian, daripada agama yang kaku, doktrinal, dogmatis, skriptualis, atau pemahaman yang sangat sempit .

Titik inilah yang membawa Muchlisah Mulkin terjun ke masyarakat. Titik yang membuatnya aktif menggaungkan ajaran-ajaran yang lebih universal, ajaran khidmat kepada sesama, ajaran cinta kasih. Muchlisah sangat memahami, apapun metode yang dipilih, metode itu akan membawa kita pada kesadaran ketunggalan, tawhid, yang membuat kita memiliki keseimbangan berfikir, keseimbangan jiwa, sehingga kita semua bisa menjalani hidup yang sebentar ini dengan lebih harmonis.

Sebagai seseorang yang sangat peka terhadap kebutuhan masyarakat secara berbangsa dan beragama, Muchlisah mengoptimalkan kebermanfaatan dirinya melalui Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI). Organisasi keagamaan ini menjadi wasilah baginya, karena ia merasa landasan gerak dalam organisasi IJABI sangat sesuai dan cocok dengan prinsip hidupnya. Prinsip IJABI yang dimaksud mencakup dua hal: tentang pencerahan pemikiran, dan tentang pembelaan terhadap kaum mustadl’afin yaitu kaum rentan dan lemah. Dalam mewujudkan dua prinsip ini, IJABI sangat fleksibel, dinamis, dan juga sangat nyaman untuk dijalani. Aturan-aturannya tidak kaku, prinsip-prinsip yang berlaku di dalamnya sangat futuristik menurut Muchlisah.

Dalam Ahlul Bait/Syi’ah, Syi’ah yang diajarkan oleh Maulana Jalaludin Rakhmat, mengajarkan tentang pentingnya akhlak. Mendahulukan akhlak berarti kita mendahulukan ukhuwah, persaudaraan, mendahulukan cinta kasih, mendahulukan silaturahmi. Walaupun kita ketahui, masih banyak orang yang tidak mampu mengerti asas mendahulukan akhlak daripada hukum syara’, fikih, namun bagi Muchlisah prinsip tersebut sangat cocok dan membuatnya nyaman dalam menjalankan aktifitas beragama dalam keberagaman.

Banyak prinsip organisasi IJABI yang mengambil pokok dari ajaran-ajaran Ahlul Bait yang bisa dijadikan pedoman hidup. Seperti bahasan relasi suami-istri: dalam kajian IJABI, kerja-kerja domestik adalah kerja kesepakatan. Jika perempuan menginginkan pamrih atas pekerjaan domestic mereka berhak menuntutnya, juga terhadap hak atas tugas menyusui anak-anaknya, termasuk kebolehan perempuan beraspirasi dan menentukan pilihannya sendiri. Walaupun perempuan tidak akan menuntut hal-hal tersebut karena cinta, prinsip ini memberikan ruang agar mereka memiliki jaminan atas pengorbanan dan kerja kerasnya. Prinsip IJABI sangat jauh dari tafsir teks yang diskriminatif. Tafsir teks yang diskriminatif, seperti ketaatan istri pada suami, sangat tidak populer dan bahkan tidak digunakan dalam jamaah ini.

Prinsip IJABI berlandaskan cinta kasih, sehingga penghidmatan dalam keluarga dan masyarakat bukan lagi didasarkan pada hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban memang perlu dibicarakan, jika cinta kasih bukan menjadi landasan gerak dalam relasi yang kita bangun. Cinta kasihlah yang merupakan titik tertinggi dalam penghidmatan, sehingga yang kita lakukan adalah penghidmatan tanpa batas, baik itu suami kepada istri, dan sebaliknya. Ini juga berlaku pada segala macam bentuk relasi. Jika telah menjadikan cinta kasih sebagai landasan, maka aturan syara’ atau fikih akan menjadi sangat fleksibel atau tidak kaku.

(bersambung)

***

Kisah Muchlisah Mulkin selengkapnya beserta perempuan perdamaian lainnya didokumentasikan oleh AMAN Indonesia bersama She Builds Peace Indonesia dalam buku She Builds Peace Seri 1: Kisah-Kisah Perempuan Penyelamat Nusantara.

Banyak pembelajaran tentang agensi perempuan yang bisa ditemukan dengan membaca semua cerita di buku ini. Untuk mendapatkannya, bisa dipesan melalui link berikut bit.ly/pesanbukuSBPseri1.

Aspiyah Kasdini. R. A
Aspiyah Kasdini. R. A
Bubu 2 Ayuning (Ibu dua putri) danistri Baba Away yang bertujuan menjadi waliullah dengan jalan menulis. Sehari-hari berdiskusi dan belajar bersama anak-anak, saudara, orangtua, para guru, teman, tetangga, juga masyarakat yang kemudian kerap menjadi tulisan berdasar realitas kehidupan. Mahasiswi doktoral Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini gemar membaca dan mengamati isu gender, anak, keluarga, perdamaian dan sufisme.
RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments