Madira sedih melihat anak tetangganya yang dipaksa menikah di usia 17 tahun. Anak tersebut dinikahkan dengan alasan agar terlepas dari beban ekonomi yang menjerat keluarga. Madira (bukan nama sebenarnya) merupakan seorang pedagang sayur keliling yang peduli terhadap hak anak-anak di kampungnya. Anak-anak perlu mendapatkan hak untuk belajar di sekolah dan mempunyai waktu untuk bermain dan bereksplorasi. Madira sadar kalau semua yang dipaksa itu tidak baik, termasuk perkawinan anak. Ia mendukung agar anak-anak bisa menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Sehari-hari, Madira berjualan sayur keliling desa. Ketika berjualan, ia mengobrol macam-macam dengan ibu-ibu dan bapak-bapak, dan orang dewasa dsi desa. Salah satunya yang sering ia obrolkan adalah agar ‘anak-anak tidak dikawinkan cepat-cepat’.
Madira tidak mau anak-anak menjadi korban perkawinan anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) seperti yang pernah ia alami sebelumnya. Kata Madira berulang-ulang, “Perkawinan anak itu bikin anak nggak bahagia, nggak bisa sekolah, nggak bisa main, ditelantarkan, mental belum siap, dan alat reproduksi bisa bermasalah”. “Sudah nggak zaman itu perkawinan anak!”, lanjut Madira kepada orang-orang dewasa yang mengerubungi dagangan.
Pelanggan sayur Madira menyimak apa yang diucapkan oleh Madira hingga selesai. Madira tidak bosan tiap hari harus mengulang-ulang perkataan itu bertahun-tahun. Para pembeli sayur berusaha memahami dan menceritakannya kepada suami, istri, dan tetangga di sekitar rumahnya. Suara kepedulian Madira menyebar dan diteruskan oleh para pembelinya.
Madira bersyukur karena orang-orang mengerti akibat dari perkawinan anak dan tidak berpikiran memaksa anaknya untuk segera menikah. Madira menanamkan pikiran melalui konsistensinya itu kepada masyarakat kalau anak-anak berhak mendapatkan haknya seperti pendidikan, bermain, dan waktu untuk eksplorasi. Anak-anak mendapatkan pilihan untuk menentukan kehidupannya sendiri agar bahagia dan tidak menyesal dan tersiksa karena pemaksaan perkawinan anak.
Masalah perkawinan anak di Indonesia itu sangat kompleks, seperti masalah ekonomi, adat di suatu daerah, Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD), dan kurangnya pendidikan kesehatan reproduksi. Meski sudah ditetapkan dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 bahwa laki-laki dan perempuan minimal menikah pada usia 19 tahun, dispensasi tetap masih diberikan dengan mudah.
Bahkan, sangat mengenaskan ketika membaca berita bahwa masih banyak korban pemerkosaan yang dinikahkan dengan pelaku. Hal tersebut bisa membuat hancur masa depan anak. Perkawinan anak tidak menyelesaikan masalah, tapi malah melipatgandakannya. Perkawinan anak pun menjadi penyebab stunting di Indonesia.
Madira diapresiasi oleh warga sekitar, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan pemerintah karena kampanye penghentian perkawinan anak itu berdampak baik kepada sekitar. Keinginan egois dan ketidaktahuan orang tua untuk menikahkan anaknya yang di bawah umur itu terkikis. Madira juga berterima kasih karena orang tua mau sama-sama belajar dan menerima obrolan-obrolan dari dirinya.
Lembaga Swadaya Masyarakat pun memberikan Madira materi-materi seputar kesehatan reproduksi kepada Madira yang berani dan pantang menyerah. Madira diundang dan diberikan peningkatan kapasitas. Penting sekali pendidikan seksualitas yang komprehensif, risiko perkawinan anak dalam kurikulum pendidikan, dan menolak dispensasi perkawinan anak.
Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas, termasuk informasi mengenai kesehatan reproduksi yang lengkap, sehingga bisa mengambil keputusan secara mandiri, tanpa paksaan, dan mengetahui beragam risiko dan konsekuensi dari tiap keputusan yang diambil.
Betapa inspiratifnya Madira, ya. Semoga banyak orang yang sadar mengenai pentingnya tidak mengawinkan anak apalagi memaksa karena alasan ekonomi, agama, dan sebagainya.